Politisasi Agama Suburkan Intoleransi dan Radikalisme

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTAPolitisasi agama membuat generasi bangsa Indonesia  mudah berkelahi dan dipenuhi caci maki. Sebab agama di tangan politik akan menjadi alat untuk mencerai-beraikan manusia karena menyuburkan intoleransi dan radikalisme.

Pesan tersebut berasal dari Direktur Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi yang diterima Mata Indonesia News, Sabtu 27 Februari 2021.

“Tokoh-tokoh Parpol memaki dan memfitnah lawan dengan menyitir ayat-ayat, penampilan agamis yang juga selalu melekat, adalah postulat khas “Khawarij” selama berabad-abad,” ujar Islah.

Tafsir agama di tangan orang-orang yang rakus kekuasaan, menurut Islah, hanya kosmetik dan senjata perang.

Menurut Islah, ada pihak yang menyatakan politik dan kekuasaan akan menyelamatkan agama. Dia menilai pernyataan itu terlalu jumawa, karena sejatinya agamalah yang membangun peradaban manusia.

Dari praktik itulah intoleransi dan radikalisme muncul karena saat itu agama ditunggangi ambisi politik dan kebencian.

Islah minta agar tidak membiarkan politik membuat agama kehilangan daya tariknya. Masa depan agama harus tetap berbasis kemanusiaan. Agama masa depan adalah ajaran dengan daya pikat utama: kedamaian.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini