MATA INDONESIA, INTERNASIONAL – Seorang perempuan Rohingya menuntut 2 juta USD atau sekira 28 miliar Rupiah sebagai kompensasi atas kematian suaminya yang dibunuh oleh tentara pemerintah selama penumpasan militer tahun 2017 di Myanmar barat. Hal ini diungkapkan sang pengacara.
Legal Action Worldwide (LAW) dan firma hukum internasional McDermott Will & Emery, mengatakan mereka telah mengajukan pengaduan pada hari Kamis (10/12), kepada komisi hak asasi manusia Myanmar atas nama Setara Begum, yang suaminya Shoket Ullah dibunuh di desa Inn Din di negara bagian Rakhine.
Tuntutan pertama telah diajukan melalui komisi hak asasi manusia Myanmar, menurut LAW, sebuah organisasi nirlaba resmi yang berbasis di Jenewa. Akan tetapi, perwakilan dari komisi hak asasi manusia tidak dapat memberikan komentar dan juru bicara pemerintah juga tidak membalas email ataupun menjawab panggilan telepon pihak Reuters.
Sebagai catatan, suami Begum, Shoket Ullah merupakan seorang nelayan berusia 35 tahun termasuk di antara 10 pria dan anak laki-laki yang dibunuh secara keji tentara pemerintah.
Tentara Myanmar mengatakan bahwa mereka telah menghukum tentara yang bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut dengan hukuman 10 tahun kerja paksa. Akan tetapi, para tentara tersebut justru dibebaskan setelah kurang dari setahun masa hukuman.
“Suami saya terbunuh dan Myanmar telah membebaskan tentara yang melakukan itu. Saya mencari keadilan untuk suami saya dan untuk semua Rohingya, yang telah menghadapi banyak masalah yang sama,” kata Begum, melansir Reuters.
Jurnalis Reuters, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo yang mendokumentasikan pembunuhan tersebut dalam sebuah laporan invenstigasi, menghabiskan 16 bulan di penjara setelah dinyatakan bersalah karena menyebarkan rahasia negara. Keduanya dibebaskan dalam amnesti pada Mei 2019.
Nasib kaum Rohingya di Myanmar terbilang tragis. Mereka hidup dalam bayang-bayang kematian. Pihak militer yang seharusnya melindungi, justru tak ubahnya seperti malaikat pencabut nyawa.
Tak mengherankan bila kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan Myanmar melakukan genosida, yakni pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok.
Akan tetapi, pemerintah Myanmar membantah klaim tersebut dengan mengatakan bahwa pasukannya melakukan operasi keamanan yang sah terhadap militan yang menyerang pos polisi.