MATA INDONESIA, JAKARTA-Krisis ekonomi akibat pandemi covid-19 dapat menjadi momentum untuk mendorong reformasi perpajakan. Hal itu diungkapkan oleh Pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar.
“Sebelumnya, krisis keuangan global tahun 2008 yang menjadi momentum dari berbagai reformasi perpajakan, sehingga adanya pandemi ini dapat dijadikan momentum untuk melakukan reformasi perpajakan secara masif dan menyeluruh,” katanya.
Selama ini, kata dia pemerintah memang melakukan reformasi perpajakan setiap tahun, baik dengan memperbaiki kebijakan maupun administrasi perpajakan.
Namun, reformasi perpajakan tersebut tidak bisa dilakukan secara menyeluruh dan masif karena regulasi, dalam hal ini UndangUndang Perpajakan, belum direvisi.
Oleh karena itu, reformasi perpajakan melalui Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) seharusnya tidak diterapkan hanya untuk mengkonsolidasi fiskal melalui penyempitan defisit anggaran negara 2022.
RUU tersebut perlu disahkan untuk membuat sistem perpajakan yang lebih sehat dan adil dalam jangka panjang. Hanya saja, menurut Fajry, pemerintah meski fleksibel dalam mengesahkan RUU KUP pada tahun 2022 mendatang.
Beberapa perubahan aturan pajak dalam RUU KUP memang bisa diterapkan tahun depan tanpa mengganggu pemulihan ekonomi dari dampak covid-19, tetapi ada juga yang tidak bisa.
“Betul, perlu melihat kondisi pemulihan ekonomi. Tapi, ada satu hal yang juga penting, pemerintah juga perlu melihat ke siapa dari segi administrasi,” katanya.
Ia mencontohkan penambahan objek yang terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPN), seperti bahan pokok dan layanan kesehatan. Diperlukan waktu untuk menerapkan PPN bagi objek-objek baru tersebut setidaknya sampai 2023.