MATA INDONESIA, JAKARTA – Keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia menaikkan BI rate atau BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI7DRR) hingga 50 basis points (bps) sekaligus telah mengejutkan ekonom dan kalangan bisnis.
Tetapi, ekonom Institute of Social, Economic and Digital (ISED), Ryan Kiryanto justru menilai keputusan menaikkan BI rate menjadi 4,25 persen tersebut sebagai upaya bank sentral menjaga stabilitas makroekonomi.
Langkah itu juga bisa menjadi upaya mengkondisikan nilai tukar yang stabil dan pengendalian laju inflasi pasca kenaikan harga BBM.
“Serta menopang pemulihan ekonomi yang sedang berjalan menyusul keberhasilan pengendalian pandemi Covid-19,” ujar Ryan.
Menurut Ryan, secara umum latar belakang dan dasar pertimbangan kenaikan BI rate sebesar 50 bps, meski di luar kebiasaan, dapat diterima dan logis.
Salah satu tujuan utamanya adalah jelas untuk mengendalikan laju inflasi agar tidak berada jauh di luar koridor ekspektasi dan target inflasi yang 2-4 persen di akhir tahun ini.
Kalau pun pada akhirnya realisasi inflasi tahunan akan melampaui sasaran yang batas atasnya 4 persen, namun tidak berlebihan atau eksesif sehingga berpotensi mendistorsi roda perekonomian nasional.
Dengan keputusan yang terbilang upfront loading atau front loaded ini, maka stance BI yang ahead the curve ingin menegaskan bahwa BI sejatinya sudah mengambil langkah setapak di depan (forward looking oriented) untuk melandaikan laju inflasi ke sasaran pada pertengahan 2023 nanti sesuai targetnya itu.
Paralel dengan itu, Ryan menegaskan, keputusan kali ini untuk menjaga stabilitas nilai tukar terhadap mata uang kuat dunia, terutama dolar AS yang akhir-akhir ini mengalami apresiasi yang luar biasa.
Kondisi itu menimbulkan fenomena super strong US Dollar menyusul kenaikan suku bunga The Fed (fed fund rate/FFR) yang agresif sebesar 75 bps pada September ini menjadi 3,0-3,25 persen.
Maka, kenaikan BI rate sebesar 50 bps itu, menurut Ryan, memberikan isyarat bahwa BI benar-benar melakukan asesmen yang sangat hati-hati dan terukur dengan melihat perkembangan dinamika domestik (internal) dan internasional (eksternal).
Dengan kenaikan BI rate sebesar itu diharapkan pergerakan nilai tukar Rupiah akan sesuai dengan kondisi fundamentalnya di tengah tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Di sini sebenarnya amunisi penguatan Rupiah cukup tersedia, antara lain baik dari kondisi perekonomian saat ini maupun perkiraan ke depannya.
Pertumbuhan ekonomi masih sesuai dengan ekspektasi pasar, terutama dengan masih kuatnya dorongan konsumsi rumah tangga ditopang dengan konsistensi surplus neraca dagang selama berbulan-bulan dan terakhir pada Agustus lalu sebesar 5,76 miliar dolar AS.
Kondisi itu, lebih tinggi dibandingkan dengan surplus pada bulan sebelumnya sebesar 4,22 miliar dolar AS.
Apalagi, menurut Ryan, Bank Pembangunan Asia (ADB) kemarin merevisi ke atas outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi sebesar 5,4 persen yang memberikan kepercayaan lebih tinggi pada pelaku pasar.
ADB juga merevisi sedikit ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023, dari 5,2 persen pada proyeksi sebelumnya menjadi 5 persen, atau turun 0,2 persen.
Ekonomi dunia yang penuh tantangan tahun depan, menurut dia, tetap akan berdampak ke Indonesia karena berlakunya normalisasi kebijakan ekonomi maupun moneter di sejumlah negara di dunia.
Sementara laju inflasi tahun depan diperkirakan berada di level tinggi, yakni 5,1 persen atau lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya yang 3 persen.
Dunia usaha, dianjurkan Ryan, harus mengkalkulasi ulang terhadap penempatan dana dan peninjauan ulang terhadap pos-pos penerimaan.
Namun, pelaku sektor keuangan dan dunia usaha tetap harus tenang menyikapi kebijakan bank sentral itu yang kali ini menunjukkan sinyal pengetatan.
Sebab, bank sentral juga masih memberikan ruang bagi pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan non bunga.