MATA INDONESIA, ADIGRAT – Mibrak Esayus mengenang tragedi November tahun lalu. Di mana kala itu, tentara Eritrea menyerbu rumahnya di wilayah Tigray Ethiopia dan membunuh ibu serta ayahnya.
Keluarga Mibrak mendengar suara tembakan di luar rumah mereka di kota Zalambessa, di perbatasan dengan Eritrea. Gadis berusia 14 tahun itu mengungkapkan bahwa tentara Eritrea menyerbu daerah perumahannya pada tengah hari.
Ayah Mibrak merupakan pendeta di gereja Ortodoks Ethiopia setempat. Ketika tentara Eritrea menyerang, sang ayah memohon kepada mereka untuk tidak menembaknya, maupun anggota keluarganya.
“Mereka menembaknya di dada dengan tiga peluru … Lalu mereka menembak mama saya di punggungnya,” kenang Mibrak, melansir Reuters, Sabtu, 27 Maret 2021.
Mibrak mengatakan dia ditembak di paha ketika lima adiknya –yang berusia antara satu hingga 12 tahun, berteriak ketakutan. Para tentara meneriaki mereka agar diam, membakar tumpukan jerami saat mereka pergi, katanya.
Mibrak termasuk di antara lebih dari dua lusin warga sipil di Tigray yang menjadi korban, atau saksi, penembakan, pemerkosaan berkelompok dan penjarahan oleh tentara Eritrea.
Mibrak dan kelima saudara kandungnya yang kini tinggal bersama bibi dan pamannya mengatakan bahwa saat itu ia menyembunyikan saudara laki-laki dan perempuannya di bawah tempat tidur selama tentara Eritrea menyerang kampungnya.
Dia bahkan tinggal di sana selama dua hari tanpa makanan, air atau listrik. Rasanya lebih aman, katanya, dan mereka tidak perlu melihat tubuh orang tua mereka.
Uskup Adigrat, Abune Merha Kiristos, menunjukkan daftar tulisan tangan dengan nama 1.151 korban tewas di daerah sekitarnya sejak konflik dimulai, termasuk orang tua Mibrak. Beberapa paroki masih tidak dapat diakses oleh para imam, katanya.
Bibi Mibrak mengambil foto adik laki-lakinya dan istrinya. Seorang pria muda berkumis dalam setelan biru dengan jubah putih pastor berdiri di samping seorang perempuan muda.
“Jangan tunjukkan pada anak-anak, mereka akan mulai menangis. Mibrak memegangnya dan menangis di malam hari,” katanya sambil menggeser foto.
Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed, yang menghadapi tekanan internasional untuk menangani laporan pelanggaran hak asasi manusia selama konflik di Tigray, mengatakan pada Jumat (26/3) bahwa Eritrea telah setuju untuk menarik pasukan dari wilayah tersebut.
Ditanya tentang kisah pembunuhan dan penganiayaan yang dilakukan oleh tentara Eritrea, termasuk yang di Zalambessa, Menteri Informasi Eritrea Yemane Gebremeskel mengatakan melalui pesan teks bahwa membunuh warga sipil tidak “dalam tradisi militer kami”.