MATA INDONESIA, BANGKOK – Pihak berwenang Thailand membantah telah memaksa sekitar 2 ribu warga Myanmar yang melarikan diri untuk kembali ke negara mereka.
Akan tetapi, seorang pejabat setempat mengatakan bahwa pemerintah memiliki wewenang untuk memblokir ribuan warga Myanmar ini di perbatasan dan menolak akses ke kelompok bantuan asing.
Ribuan orang melarikan diri dari Myanmar selama akhir pekan, setelah jet tempur menyerang desa-desa di dekat perbatasan yang dikuasai oleh pasukan dari kelompok etnis Karen –yang sebelumnya menyerang sebuah pos militer setelah kudeta pada 1 Februari.
Kepala Kampanye Myanmar, Mark Farmaner mengatakan bahwa ribuan orang telah dipaksa untuk kembali ke kamp pengungsian Ee Thu Hta di sisi perbatasan Myanmar. Kelompok aktivis lain memperkirakan sedikitnya terdapat 2,009 warga Myanmar yang melarikan diri.
“Lihat, tentara Thailand menyuruh penduduk desa untuk kembali. Di sini, lihat orang tua harus kembali. Lihat di sana, ada banyak tentara Thailand,” kata seorang penduduk desa Karen, melansir Today Online, Selasa, 30 Maret 2021.
Namun, pernyataan tersebut ditepis oleh Gubernur provinsi Mae Hong Son Thailand, Thichai Jindaluang. Ia mengatakan bahwa pihaknya sama sekali tidak pernah memaksa para pengungsi Myanmar untuk kembali ke negara mereka.
Saat ini warga Myanmar yang melarikan diri ke Thailand berada di tempat yang aman di pinggiran perbatasan di distrik Mae Sariang dan Sop Moei, berdasarkan laporan media pemerintah.
“Pihak berwenang Thailand akan terus menjaga mereka yang berada di pihak Thailand sambil menilai situasi yang berkembang dan kebutuhan di lapangan,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri, Tanee Sangrat dalam sebuah pernyataan dan menambahkan, berita mengenai penduduk desa Karen yang dipaksa pulang tidak akurat.
Kepala Distrik Mae Sariang, Sangkhom Khadchiangsaen mengatakan dalam sebuah pertemuan lokal bahwa warga Myanmar yang melarikan diri harus diblokir.
“Semua lembaga harus mengikuti kebijakan Dewan Keamanan Nasional yang mengharuskan kita memblokir mereka yang melarikan diri dan menjaga mereka di sepanjang perbatasan,” kata Sangkhom Khadchiangsaen, mengacu pada badan koordinasi keamanan pemerintah.
“Militer memiliki tanggung jawab utama dalam mengelola situasi di lapangan dan kami tidak boleh mengizinkan pejabat dari UNHCR (Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi), LSM atau organisasi internasional lainnya untuk melakukan kontak dan komunikasi langsung. Ini sama sekali dilarang,” tuturnya.