MINEWS, JAKARTA – Nilai tukar rupiah atas dolar AS ditutup melemah di akhir perdagangan awal pekan ini, 2 November 2019. Mengutip data RTI Bussines, rupiah ditutup di posisi Rp 14.125 atau turun 0,14 persen.
Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan pelemahan mata uang garuda sore ini dibayangi oleh sejumlah sentimen global di antaranya sebagai berikut.
Pertama, membaiknya data ekonomi Cina. Di mana, Indeks Manajer Pembelian Manufaktur Caixin atau Markit China (PMI) tercatat di 51,8 pada November.
Sebelumnya pada hari Jumat lalu, PMI manufaktur resmi yang dirilis oleh Biro Statistik Nasional (NBS) mencatat pembacaan 50,2, jumlah ini melampaui level 50 yang menunjukkan ekspansi untuk pertama kalinya sejak April. Sementara, PMI resmi non-manufaktur datang di 54,4, level tertinggi sejak Maret.
Kedua, soal pembicaraan perjanjian perdagangan AS-Cina. Melansir Global Times, sebuah tabloid berbahasa Inggris nasionalis di China yang memiliki hubungan dengan Partai Komunis China, mengatakan pada perjanjian perdagangan fase satu tersebut AS harus menurunkan tarif. Gelombang tarif Amerika berikutnya untuk barang-barang Cina akan mulai berlaku pada 15 Desember nanti.
Namun di sisi lain, sikap Presiden AS Donald Trump yang menyetujui dua RUU yang mendukung para pemrotes anti-pemerintah di Hongkong, tentu membuat pihak Cina marah.
“Bahkan Cina telah berjanji untuk mengambil tindakan keras sebagai pembalasan, meskipun belum mengumumkan tindakan spesifik apa pun,†kata Ibrahim sore ini.
Ketiga, soal Brexit. Hasil jajak pendapat terus menunjukkan bahwa Partai Konservatif yang jadi pengusung Boris Johnson siap untuk menang dalam pemilihan pada 12 Desember.
“Ini akan membuka jalan bagi Inggris untuk keluar dari Uni Eropa,†ujar Ibrahim.
Sementara dari internal, data inflasi bulan November tercatat lebih rendah dibandingkan ekspektasi pasar yaitu inflasi bulanan 0,14 persen (MoM) sedangkan ekspektasi di 0,2 persen. Sementara inflasi tahunan 3 persen (YoY), atau di bawah ekspektasi di level 3,065 persen.
“Inflasi tersebut memberi indikasi bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sedang berada di bawah tekanan, apalagi data penjualan ritel yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI) ikut mengonfirmasi lemahnya konsumsi masyarakat,†kata Ibrahim.
Upaya Bank Indonesia (BI) hari ini juga melakukan intervensi di pasar valas dan obligasi dalam perdagangan DNDF, namapaknya tak banyak membantu banyak bagi rupiah untuk menguat.
“Soalnya investor cuma fokus terhadap data eksternal yang kurang menguntungkan sehingga wajar kalau rupiah hari ini kembali melemah,†ujarnya.