Ma’ruf Ingatkan Prabowo Jangan Cepat Emosi

Baca Juga

MINEWS, BANDUNG – Cawapres 01 KH Ma’ruf Amin mengingatkan capres 02 Prabowo Subianto bahwa seorang pemimpin tidak boleh cepat emosi alias marah-marah di hadapan masyarakat.

Nasihat itu disampaikan Ma’ruf sebagai tanggapan atas perilaku kurang terpuji dari Prabowo yang menggebrak meja podium saat berkampanye terbuka di Yogyakartam, Senin 8 April 2019. Prabowo dengan penuh emosi mempertanyakan netralitas TNI dan Polri jelang Pemilu 17 April 2019 nanti.

“Ya sabar, santun,” ujar Kiai Ma’ruf usai menghadiri kampanye terbuka di Kabupaten Bandung Barat, Selasa 9 April 2019.

Tak hanya soal itu, Ma’ruf juga menanggapi pernyataan Prabowo yang secara sengaja menyebut Ibu Pertiwi saat ini sedang diperkosa. Ucapan itu disampaikan Prabowo kala menghadiri kampanye terbuka di Stadion GBK, Jakarta, Minggu 7 April 2019 lalu.

Menurut Ma’ruf, pemimpin selayaknya berbicara dengan bijak, mengayomi dan mengajak serta memberikan tuntunan-tuntunan yang positif, bukan sebaliknya.

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini menjelaskan, seorang pemimpin Indonesia tidak boleh mengajarkan sikap-sikap keras yang bisa menimbulkan permusuhan di tengah masyarakat.

Bagi Kiai Ma’ruf, pemimpin negeri ini idealnya haruslah sopan santun. Jika kesantunan itu tidak dimiliki, besar kemungkinan akan ditinggalkan oleh rakyat.

“Masyarakat itu maunya seperti itu, santun dan bermartabat,” kata Ma’ruf.

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini