Kronologi Lengkap Tragedi Meninggalnya Dua Pelari Surabaya Marathon

Baca Juga

MINEWS, JAKARTA – Dua peserta lari Surabaya Marathon 2019 meninggal dunia, Minggu 4 Agustus 2019. Mereka adalah Komisaris Malang Post Chusnun N Djuraid (60) dengan nomor peserta 572 dan peserta asal Jakarta Oentung P Setiono (55).

Kedua peserta kategori lari 10 Kilometer itu terjatuh dan pingsan saat berlari dan belum sempat mencapai garis finish. Sempat dilarikan ke IGD RSUD dr Soetomo Surabaya, namun nyawa mereka tak tertolong.

Chusnun terjatuh di Jalan Pemuda (depan Bank BTPN) atau berjarak 8 km dari start. Sementara Oentung terjatuh di Jalan Basuki Rahmat (depan Dhiandra) atau sekitar 6 km dari start.

“Ayah berangkat kemarin naik bus. Dia berangkat sendiri. Pamitnya ikut lomba lari 10 kilometer. Kaget juga, begitu dikabari ayah meninggal,” kata anak bungsu almarhum Chusnun, Amalia Kautsaria di Kamar Jenazah RSUD dr Soetomo.

Saat di IGD, kata Amalia, ayahnya sempat mendapat penanganan pacu jantung. Namun tidak membuahkan hasil.

Ia pun mengungkapkan, tahun lalu korban pernah didiagnosis sakit jantung setelah bermain tenis. Setelah kondisinya pulih, korban kembali ikut ajang lomba maraton.

“Memang (bapak) punya riwayat jantung. Tapi sudah sembuh, terus sempat ikut Borobudur dan Prambanan Marathon tahun lalu sampai finish 10 km,” kata dia.

Sementara Sahabat Oentong, Heri mengatakan, korban masih ikut berlari sampai 3 kilometer. Saat berlari itu Oentong sempat mengeluh dan merasakan kantuk.

“(Berlari) 3 kilometer masih sama saya, dia enggak ngomong capek apa-apa, mengeluhnya ngantuk, ‘Semalam saya ngantuk’. Cuma itu saja yang dia bilang,” ujar Heri.

Namun, Heri mengaku tidak mengetahui secara persis peristiwa meninggalnya atlet judo dan pernah meraih medali emas di ajang Sea Games pada 1989 silam.

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini