MATA INDONESIA, INTERNASIONAL – Korea Utara memamerkan kekuatan mereka dengan meluncurkan rudal balistik kapal selam (SLMB) di acara parade militer di Pyongyang, pekan lalu. Parade tersebut juga menampilkan tentara Korea Utara yang berbaris rapi, serta berbagai perangkat keras militer, termasuk tank dan peluncur roket.
Hal ini tentu menjadi kebanggaan bagi masyarakat Korea Utara, tapi tidak untuk para musuh mereka. Korea Selatan dan Amerika Serikat, menjadi dua negara yang khawatir akan kekuatan militer yang dimiliki Korea Utara saat ini.
Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in menyarankan agar Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih, Joe Biden melakukan dialog dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un demi membangun kemajuan yang telah dibuat oleh Presiden Donald Trump.
Bukan hanya itu, Presiden Moon Jae-in juga menawarkan diri untuk menjadi mediator antara Pyongyang dan Washington. Dan menyarankan Biden agar menempatkan Korea Utara sebagai prioritas kebijakan luar negeri AS.
“Pelantikan pemerintahan Biden akan memberikan titik balik untuk memulai dialog antara AS-Korea Utara dan dialog Selatan-Utara, untuk mewarisi pencapaian yang telah dibuat di bawah pemerintahan Trump,” kata Moon Jae-in dalam konferensi pers, melansir Reuters.
“Dialog dapat meningkatkan kecepatan jika kita memulai kembali dari deklarasi Singapura dan mencari langkah konkret dalam negosiasi,” sambungnya.
Dalam pernyataan bersama usai pertemuan di Singapura, kedua pemimpin berjanji membangun hubungan baru dan bekerja menuju denuklirisasi Semenanjung Korea. Namun, usai KTT kedua Vietnam pada 2019, kedua pemimpin tidak menemukan kata sepakat. Pun dengan pembicaraan tingkat kerja berikutnya yang menemui kegagalan.
Moon kemudian membahas mengenai isu latihan militer antara Korea Selatan dengan AS yang telah lama dituding Pyongyang sebagai latihan perang dapat didiskusikan dengan menghidupkan kembali panel militer antar-Korea.
Selanjutnya, Moon menyerukan solusi diplomatih dengan Jepang, demi mencegah rencana penjualan aset perusahaan Negeri Sakura untuk memberi kompensasi kepada para korban kerja paksa. Kedua negara berselisih mengenai warisan dari pemerintahan kolonial Jepang medio 1910-1945 dan sejumlah mantan buruh telah mendapatkan perintah pengadilan untuk menyita properti domestik perusahaan Jepang.