MATA INDONESIA, JAKARTA – Pemerintah harus menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) mengingat beban subsidi yang besar sekaligus untuk mengatasi persoalan subsidi yang salah sasaran.
Pengamat Ekonomi yang juga Guru besar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Prof Muhammad Handry Imansyah mengatakan Indonesia saat ini telah menjadi net importir BBM. Kuota subsidi jenis pertalite akan habis akhir September 2022 dan solar akan habis akhir Oktober 2022.
Menurut dia, skema subsidi jenis pertalite dan solar selama tidak tepat. Idealnya, subsidi itu harusnya menyasar langsung masyarakat yang tidak mampu. ”Pemberian subsidi harga pada komoditas menyebabkan semua golongan masyarakat akan dapat menikmatinya,” ujar Prof Muhammad Handry.
Pengguna paling banyak mengkonsumsi dua jenis BBM itu adalah golongan mampu dan pengusaha besar. Hal itu berdasarkan data survei sosial ekonomi nasional (Susenas).
Seharusnya, kata dia, penyesuaian harga BBM mengikuti harga pasar dunia. Sedangkan, untuk golongan masyarakat tidak mampu mendapat bantuan dari pemerintah. ”Sebenarnya, jumlah kelompok sasaran masyarakat berpendapatan rendah ini relatif rendah konsumsi BBMnya. Sehingga memberikan bantuan kepada mereka melalui skema pembatasan konsumsi lebih mudah,” ujarnya.
Sedangkan masyarakat lain di luar kategori itu, bisa menyesuaikan dengan harga pasar sehingga dana subsidi yang demikian besar dapat bermanfaat bagi program pembangunan lainnya.
Contoh skema subsidi misalnya masyarakat dari golongan rendah tersebut membeli BBM dengan kartu miskin, sehingga bisa mendapatkan harga khusus.
Kenaikan harga BBM ini tidak dapat terhindari. Di berbagai negara juga menghadapi kenaikan harga energi yang luar biasa. Dan ini merupakan fenomena global.
“Masalahnya adalah bagaimana menyosialisasikan kepada masyarakat bahwa kenaikan BBM tertentu memang tak dapat dihindari,” ujarnya.