MATA INDONESIA, JAKARTA – Gerakan melawan dan lengserkan pemerintahan Presiden Joko Widodo muncul dan terus berkembang sejak terpilih pada pemilu 2014 hingga kini.
Ketika Prabowo Subianto memutuskan bergabung dalam Kabinet Indonesia Maju 2019-2024, orang berasumsi tensi akan menurun. Namun, faktanya koalisi perlawanan Jokowi itu tak mengurangi aksinya. Pengembangan kebencian terus meluas melalui mimbar agama, media sosial hingga aksi jalanan.
Menurut Direktur Lembaga Pemilih Indonesia Boni Hargens, hal itu masuk akal karena energi kebencian itu tidak sepenuhnya lahir dari rahim politik (sekadar menang atau kalah pada kontestasi politik), tetapi juga lahir dari rahim ideologi.
Di antaranya, ada kelompok yang tidak rela menerima demokrasi dan Pancasila. Mereka ingin memakai kebebasan demokrasi untuk memperjuangkan kepentingan laten yaitu mendirikan NKRI berbasis kitab suci atau biasa dikenal “NKRI Syariah”.
“Kelompok politik dan kelompok ideologi ini hidup dalam simbiosis mutualisme. Mereka saling membutuhkan dan tentunya akan saling membantai, jika seandainya salah satu dari mereka sampai di garis tujuan kelak,” ujar Boni dalam keterangannya, Kamis 29 Juli 2021.
Menurut Boni, kelompok-kelompok itu kini terpetakan ke dalam 4 bagian besar di antaranya pemburu rente (Rent seekers), Jaringan Orba (Orde Baru Connections), Koneksi Cikeas (Cikeas Leak) dan Kelompok sayap kanan Islam (Right Wing Populism).
Kelompok pertama terdiri dari figur yang berambisi menjadi presiden tetapi tidak memiliki partai politik atau tokoh yang memiliki dendam politik terhadap pemerintah saat ini atau elit partai yang terlibat pertikaian internal partainya sementara sebagian rekannya bergabung dalam Pemeritahan Jokowi. Termasuk elite partai yang ingin menggerus suara pendukung pemerintah pada Pilpres 2024.
Kelompok kedua terdiri dari Jaringan Orde Baru yang masih eksis dalam bisnis dan politik, Menurut seorang Indonesianis asal Amerika Serikat, Jeffrey Winters kelompok itu dijuluki “sultanistic oligarchy.” Kelompok itu masih aktif menggerakkan bisnis politik sejak Pilpres 2014.
Kelompok ketiga adalah Koneksi Cikeas (Cikeas Connetions). Mereka adalah jaringan politisi, aktivis dan pebisnis yang loyal kepada trah Cikeas dan mengambil posisi kritis terhadap pemerintahan Presiden Jokowi. Mereka aktif melakukan aksi perlawanan dengan merawat jaringan aksi untuk melakukan propaganda, agitasi dan aksi protes terhadap kebijakan pemerintah.
“Kelompok ini tidak pernah bermain dengan baju partai. Mereka pandai memakai tangan pihak ketiga, keempat dan seterusnya,” ujar Boni.
Kelompok keempat terdiri dari sayap kanan Islam yang dimaksud mengacu pada Wahabisme, eks HTI, FPI, PA 212 dan komunitas serupa. Mereka sejatinya secara ideologis tidak menerima demokrasi karena menghendaki model politik berbasis kitab suci.
Menurut Boni, mereka melihat kemunculan kaum nasionalis dan partai nasionalis sebagai ancaman bagi peradaban agama. Militansi kelompok itu meningkat sejalan dengan penegakan hukum terhadap para ulama dan tokoh mereka yang terlibat tindak pidana.
Boni juga memaparkan modus operandi empat kelompok tersebut saat beraksi. Pertama, mengkapitalisasi simpul-simpul aksi konvensional seperti organisasi kemahasiswaan, ormas, interest groups, termasuk pressure groups.
Menurut Boni, modus itu dinilai lebih efektif, terukur dan efisien. Sebab, dalang aksi hanya menyiapkan dana yang disalurkan melalui para makelar yang biasa berbisnis politik mengadakan aksi protes.
Modus kedua, menciptakan simpul-simpul aksi baru. ”Dalam modus ini, dalang aksi membutuhkan tim kreatif dan berpengalaman yang bisa merancang jejaring baru meski tetap memakai massa yang lama seperti jaringan Anarko Sindikalis,” ujarnya.
Skenario itu untuk memberikan efek kejut yang baru sekaligus menambah pekerjaan baru bagi institusi keamanan dan komunitas intelijen.
Modus ketiga, memanfaatkan momentum krisis seperti pandemi Covid-19, isu separatisme Papua dan isu lain yang bergulir.
Sedangkan modus keempat, memakai narasi umum yang mudah diterima publik seperti ketidakadilan, kemungkaran, penindasan dan sebagainya. Narasi-narasi ini dipoles dengan sentuhan agama sehingga memantik emosi sosial yang meluas.
Boni juga memaparkan kelompok-kelompok itu memainkan modus vivendi berupa; pertama, terdiri dari para dalang yang memiliki kekuatan finansial yang memadai. ”Mereka memiliki bisnis raksasa dari masa lalu. Sebagian lagi memiliki jaringan kekuatan karena posisi strategis mereka dalam pemerintahan dan institusi negara di masa lalu,” katanya.
Kolaborasi bekas petinggi negara dan pebisnis hitam menjadi modal yang melahirkan simpul perlawanan yang berdaya tekan lebih kuat.
Kedua menurut Boni, untuk jejaring akar rumput adalah mereka yang bersentuhan langsung dengan umat atau mereka yang memiliki aktivitas bisnis ekonomi sebagai sumber penghasilan. ”Mereka umumnya pengusaha menengah yang cukup sukses,” katanya.
Mereka akan memanfaatkan “loyalitas umat” sebagai mesin ekonomi untuk bisnis sekaligus “mesin politik” yang bisa terlibat dalam beragam manuver melawan pemerintah. Menurut Boni, para penyumbang organisasi HTI, FPI dan PA 212 umumnya masuk dalam kategori ini.
Nah, sasaran mereka dikelompokkan dalam beberapa rencana antara lain:
- Rencana awal menjatuhkan pemerintahan Presiden Jokowi. Agenda itu menjadi ambisi semua kelompok, terutama kelompok pro Khilafah. Sedangkan, kelompok partai politik tahu ini tidak mudah secara konstitusional.
- Rencana kedua, melemahkan citra pemerintah dan menggerus citra partai pendukung. Sasaran ini lebih feasible dan sejatinya lebih dibutuhkan oleh partai-partai oposisi ketimbang sasaran pertama.
Parahnya satu dua elite partai pendukung Pemerintah juga ikut bermain dalam wilayah ini karena, menurut Boni, tidak akan ada lagi persatuan menjelang 2024.
- Rencana ketiga, menyiapkan sosok alternatif yang bisa diusung menjadi calon presiden pada pilpres 2024 dan memperkuat dukungan terhadap partai politik dalam barisan mereka untuk pemilu 2024.
- Rencana keempat, melakukan Amandemen UUD 1945 setelah memenangkan pilpres 2024 dalam rangka menghidupkan kembali Jakarta Charter. Piagam Jakarta itu sasaran yang khusus dirancang Kelompok Populis Sayap Kanan yang bermimpi tentang “NKRI Syariah.”
Dalam hal ini menurut Boni mereka bakal bertikai dengan kelompok lain yang juga melakukan perlawanan terhadap Jokowi tetapi dalangnya tidak pro khilafah. ”Itu terutama para bekas petinggi negara yang ambisinya hanya kekuasaan bukan mengganti sistem negara atau mau mengganggu dasar negara yaitu Pancasila,” ujarnya.