MATA INDONESIA, JAKARTA – Rekor inflasi tertinggi di Indonesia akhirnya tembus juga pada Juli 2022. Sejumlah pengamat ekonomi memproyeksikan inflasi akan semakin buruk pada 2023.
Direktur Eksekutif Center of Reform Economics (CORE), Mohammad Faisal memperkirakan inflasi akan bertengger di angka 6% dan memburuk tahun depan karena bantalan subsidi dari pendapatan ekspor komoditas andalan akan turun harganya tahun depan.
Pemerintah mengatakan akan mengambil kebijakan mempertahankan subsidi pada bahan bakar minyak, listrik dan gas elpiji untuk mengendalikan inflasi. Termasuk memberi bantuan sosial.
Dampak inflasi atau kenaikan harga mulai dirasakan langsung pelaku usaha kecil.
Soraya, 32 tahun, adalah pemilik warteg di bilangan Jakarta Selatan. Sejak tiga bulan terakhir, ia harus memutar otak agar dapat mempertahankan harga makanan di wartegnya, di tengah kenaikan harga-harga bahan pokok.
Siasat yang ia gunakan antara lain mencampur cabai dengan tambahan tomat. Mengurangi penggunaan minyak goreng. Hingga tidak menjual olahan sayur yang harganya sedang naik.
Soraya mencontohkan kacang panjang dan sawi putih yang biasa ia olah menjadi tumis-tumisan, harganya bisa melonjak hingga lima kali lipat mencapai Rp 25.000/kg.
“Kalau lagi pas [harga] naik, enggak aku masak dulu,” katanya.
“Mereka kebanyakan dari kalangan menengah ke bawah, kalau di warteg itu. Jadi kalau saya tidak bisa naikkan harga. Di sini pembeli dari perkantoran banyak. Ojol banyak, kuli bangunan juga banyak,” kata Soraya.
Meskipun siasat-siasat ini sudah berlangsung, pendapatan Soraya tetap berkurang dalam tiga bulan terakhir. Jika rata-rata keuntungan harian biasanya sekitar Rp 600.000, kini ia hanya bisa mengantongi sekitar Rp400.000.
“Jadi walaupun untung sedikit, tipis, tetap produksi, dan harga enggak bisa naik,” lanjutnya.
Seorang karyawan swasta di Jakarta, Lutfi Kurniawan pun mengakui harga makan siangnya sudah mulai merangkak naik. Agar gajinya tidak tergerus inflasi, ia pun memilih mencari tempat makan yang lebih murah.
Badan Pusat Statistik mencatat peningkatan harga-harga atau inflasi bulan Juli 2022 dari tahun sebelumnya (y-o-y) meningkat hingga 4,94%. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak Oktober 2015 yaitu 6,25%.
Menurut BPS, inflasi Juli 2022 sebagian besar berasal dari kenaikan harga makanan dan minuman.
BBC telah menghubungi Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu untuk mendalami persoalan ini, tapi belum mendapat respons.
Bagaimana pun, sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut angka ini “relatif moderat” dari negara selevel Indonesia, seperti Thailand (7,7%), India (7%), dan Filipina (6,1%).
“Maka inflasi Indonesia yang 4,94% year on year masih relatif moderat,” katanya.
Menteri Sri Mulyani mengatakan dari inflasi dari komponen gejolak harga bahan makanan (volatile food), terjadi akibat harga pangan global, dan juga terganggunya pasokan akibat cuaca.
Sementara dari inflasi berasal dari komponen harga pemerintah (administered prices) pengaruhnya berasal dari harga tiket angkutan udara.
Namun, inflasi tidak berpengaruh terhadap harga bahan bakar minyak dalam negeri, listrik dan gas elpiji karena pemerintah telah menaikkan subsidi.
“Ini akibat, atau merupakan hasil dari kebijakan pemerintah. Hal ini untuk mempertahankan harga jual energi di domestik, melalui kenaikan subsidi listrik dan energi bbm dan elpiji yang alokasinya oleh anggaran pendapatan belanja negara atau APBN,” ujar Sri Mulyani.
Tahun ini, tambah Menteri Sri Mulyani, pemerintah menambah anggaran untuk subsidi semula Rp152 triliun menjadi Rp502 triliun. “Untuk mengendalikan inflasi dari administered prices, terutama energi oleh APBN,” katanya.
Di sisi lain, pemerintah juga akan melakukan pemantauan berkala terhadap harga-harga pangan.
“Untuk ketahanan pangan, sekarang ini Presiden Joko Widodo hampir setiap minggu memonitor ketahanan pangan. Kita lihat mulai dari beras, jagung, kedelai, dan berbagai komoditas yang sangat penting bagi masyarakat, termasuk minyak goreng,” katanya.
Sampai kapan?
Data Badan Pusat Statistik menyebutkan angka kemiskinan di Ibu Kota pada Maret 2022 menjadi 502,04 ribu orang atau naik 0,02% dari September 2021 berjumlah 498,29 ribu orang. Hal ini akibat tingginya inflasi akibat pandemi COVID-19.
Sementara itu, Direktur CORE, Mohammad Faisal, mengestimasi inflasi tahun ini akan tetap lebih tinggi dari era pandemi (2020-2021). “Tahun ini kalau saya prediksikan [inflasi] bisa sampai 6%,“ kata Faisal.
Menurutnya, faktor eksternal seperti perang Ukraina-Rusia bukan satu-satunya yang menentukan naik-turunnya inflasi. Karena peningkatan harga-harga tahun ini merupakan kombinasi antara faktor global, pasca-pandemi dan cuaca yang berdampak pada gagal panen hingga distribusi yang terhambat.
“Pasca-pandemi itu juga ketika mobilitas di banyak negara ini juga termasuk Indonesia sudah longgar. Nah, ini demand/permintaan berbagai macam barang dan jasa itu meningkat. Begitu permintaan meningkat, dan kalau tidak imbangi dengan kecepatan penawaran yang memadai, harga jadi meningkat,” kata Faisal.
Ia juga menyoroti produsen barang dan jasa sejauh ini masih menahan harga pasaran di tengah meningkatnya ongkos produksi karena inflasi.
Namun, pertahanan ini kemungkinan akan ambruk di mana produsen pada akhirnya tak punya pilihan untuk menaikkan harga barang dan jasa.
“Mereka akan transmisikan dalam bentuk meningkatkan harga jual produk mereka. Nah, ini berarti ke depan, inflasinya masih terus bertambah ya,” kata Faisal.
Oleh karena itu, ia mendorong agar pemerintah selain harus tetap mempertahankan subsidi energi, juga harus mengendalikan harga bahan makanan.
Di sisi lain, analis ekonom Yanuar Rizky mengkritisi ketahanan subsidi energi yang masih ditopang komoditas ekspor andalan. Yaitu mineral dan batu bara (minerba) serta kelapa sawit.
Menurut Yanuar, harga komoditas ekspor minerba meningkat belakangan ini, akan tetapi tak menutup kemungkinan harganya bisa anjlok seperti pengalaman 2008 dan 2011.
Pada 2021, pemerintah mencatat pendapatan negara dari komoditas ini mencapai Rp124 triliun, yang penggunaanya sebagai tambahan subsidi bahan bakar minyak, listrik termasuk gas elpiji.
Namun, kata Yanuar pada 2023 kemungkinan harga batu bara akan turun karena pengaruh proyeksi bank sentral AS, The Fed yang menginginkan penurunan harga energi.
BBC/Reporter: Alya