Ekspor RI ke AS Alami Peningkatan

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan ekspor Indonesia ke Myanmar mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh konflik internal yang tengah dialami Myanmar pasca-kudeta awal Februari.

Suhariyanto mengungkapkan bahwa Indonesia mencatatkan penurunan ekspor nonmigas ke Myanmar pada Februari 2020 sebesar 52,8 juta dolar AS.

“Bila melihat apa yang terjadi di Myanmar sekarang, bisa dipahami kalau ekspor ke Myanmar mengalami penurunan,” kata Suhariyanto dalam keterangan pers secara virtual, Senin, 15 Maret 2021.

Myanmar mengalami keterpurukan setelah junta militer merebut kekuasaan dan menangkap pemimpin de facto, Aung San Suu Kyi beserta para pejabat Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).

Sejak saat itu, ratusan warga Myanmar turun ke jalan dan memenuhi setiap jalan di segala penjuru negeri. Mereka mendesak junta militer melepaskan kekuasaan dan membebaskan Aung San Suu Kyi –yang merupakan peraih Nobel Perdamaian.

Sementara Indonesia juga mengalami penurunan ekspor di sejumlah negara, seperti India sebesar 178 miliar dolar AS, kemudian Cina senilai 96,2 miliar dolar AS, Spanyol sebesar 75,5 miliar dolar AS, serta Singapura senilai 49,7 miliar dolar AS.

“Untuk India, selain lemak dan minyak hewan atau nabati, juga ada penurunan ekspor besi baja dan bahan baku mineral,” ujar Suhariyanto.

Meski begitu, Indonesia juga mencatatkan peningkatan ekspor ke dua negara, yakni Taiwan sebesar 217,4 juta dolar AS dan Amerika Serikat senilai 186,7 juta dolar AS. Kemudian Swiss sebesar 37,5 juta dolar AS, Belanda sebesar 37 juta dolar AS, serta Turki senilai 36,8 juta dolar AS.

Cina masih menjadi negara tujuan utama ekspor Indonesia dengan realiasai nilai ekspor mencapai 2,95 miliar dolar AS atau 20,5 persen. Adapun tujuan ekspor kedua adalah Negeri Paman Sam dengan alokasi sebsar 12,92 persen dan Jepang di urutan ketiga dengan kontribusi 8,35 persen.

“Komoditas utama ekspor ke Cina pada Februari adalah bahan bakar mineral, besi, dan baja, serta lemak dan minyak hewan dan nabati,” tuntasnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini