MATA INDONESIA, JAKARTA – Ini ada aturan baru terkait pembangkit listrik tenaga surya atap (PLTS Atap).
Aturan baru ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No. 26/2021. Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusniada, mengatakan, regulasi baru tersebut merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya. Aturan ini untuk memperbaiki tata kelola dan keekonomian PLTS Atap.
Peraturan ini juga terbit untuk merespons dinamika yang ada. Serta memfasilitasi keinginan masyarakat untuk mendapatkan listrik dari sumber energi terbarukan. Termasuk mengakomodasi masyarakat yang ingin berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca.
Ada sejumlah substansi pokok yang tertuang dalam regulasi ini. Di antaranya kenaikan ketentuan ekspor kWh listrik dari 65 persen menjadi 100 persen. Kelebihan akumulasi selisih tagihan juga nihil dan bisa perpanjang dari 3 bulan menjadi 6 bulan.
Jangka waktu permohonan PLTS Atap menjadi lebih singkat. Hanya 5 hari tanpa penyesuaian Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL). Dan 12 hari dengan adanya penyesuaian PJBL. Selain itu, ada juga peluang perdagangan karbon dari PLTS Atap.
Terakhir, perluasan pengaturan tidak hanya untuk pelanggan PLN saja. Tetapi termasuk pelanggan di Wilayah Usaha non-PLN (Pemegang IUPTLU).
Berdasarkan proyeksi Kementerian ESDM, target PLTS Atap sebesar 3,6 GW secara bertahap hingga 2025 akan berdampak positif.
Potensi serapan tenaga kerja dalam pembangunan fisik PLTS Atap ini mencapai 121.500 orang. Dan berpotensi meningkatkan investasi sebesar Rp 45 triliun sampai Rp 63,7 triliun.
Adapun pembangunan fisik PLTS Atap ini proyeksinya bisa menghasilkan pengadaan kWh Exim sebesar Rp 2,04 triliun. Sampai dengan Rp 4,1 triliun.
Pembangunan PLTS atap tersebut bisa mendorong tumbuhnya industri pendukung PLTS di dalam negeri. Dan meningkatkan daya saing dengan makin tingginya Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
Perkembangan PLTS atap dapat pula mendorong green product sektor jasa dan green industry untuk menghindari penerapan carbon border tax di tingkat global.
Tak hanya itu, kebijakan soal PLTS ini menciptakan potensi penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) mencapai 4,58 juta ton CO2e. Dengan begitu Indonesia berpeluang memperoleh penerimaan dari penjualan nilai ekonomi karbon sebesar Rp 60 miliar per tahun dengan asumsi harga karbon US$ 2 per ton CO2e.