MATA INDONESIA, JAKARTA – Tak ada yang menyangka pagi itu teror maut akan terjadi di kawasan Dieng Jawa Tengah. Pada 20 Februari 1979 silam, letusan dan gas beracun dari Kawah Sinila di Pegunungan Dieng terjadi.
Insiden itu terjadi pukul 01.55 dini hari. Awalnya insiden tersebut diawali dengan terjadinya guncangan yang cukup hebat. Para penduduk yang merasakan adanya gempa, bergegas keluar rumah. Setelah itu terdengar dentuman keras. Ternyata Kawah Sinila yang berada di sebelah timur Kawah Timbang mengalamai erupsi. Letusan tersebut membuat Kawah Timbang reaktif. Dan inilah yang membahayakan. Karena dari kawah itu keluarlah gas beracun yaitu karbon dioksida serta hidrogen sulfida yang konsentrasi tinggi.
Warga yang tinggal di kawasan tersebut berusaha menyelamatkan diri dan menghindar dari erupsi Kawah Sinila. Udara terasa sangat panas dan juga disertai bau belerang yang menusuk hidung. Namun, ketika mereka menyelamatkan diri, mereka terjebak gas beracun yang keluar dari Kawah Timbang.
Disergap Gas
Kantor Berita Antara melaporkan kisah ini dengan sangat mencekam. Lewat tengah malam, tiga desa di Kecamatan Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah terasa mencekam karena guncangan besar dari Kawah Sinila.
Sejumlah penduduk warga Desa Kepucukan berlari ke arah barat untuk mengungsi. Sambil membawa serta keluarga dan hewan-hewan ternak, mereka berlari secepat mungkin.
Namun, nahas, saat mereka berlari, semburan CO2 dan H2S yang melimpah yang berasal dari Kawah Timbang menyeberangi jalan desa membuat warga tak bisa berbuat banyak. Seketika saat dihirup, gas-gas ini seolah mencekik lalu membunuh mereka dari dalam. Selang beberapa waktu saja, ajal langsung menjemput mereka.
Seorang penduduk Dusun Simbar, Desa Sumberrejo, Riyanto menuturkan, sebelum tragedi itu terjadi ada gempa setiap 15 menit.
“Ada gempa, tiap 15 menit. Saat saya melihat keluar ada awan hitam di tengah kawah Sinila. Tapi, kami tak mendengar ledakan,” ujar Riyanto.
Sewaktu gempa terus-menerus terjadi hingga subuh. Pada pukul 04.30, Riyanto bersama warga desa lainnya mendekati kawah Sinila. Dalam perjalanan ke sana, mereka melihat ratusan orang tewas di jalan.
“Tampak penduduk desa sekitar itu tengah berusaha mengevakuasi diri. Mereka tewas dalam perjalanan mencari tempat aman,” kenang Riyanto.
Ia bersama warga kampungnya adalah orang pertama yang datang ke sana dan menemukan warga desa tewas.
Riyanto dan sejumlah warga berusaha menolong dan mengevakuasi korban tewas. Namun saat akan mengangkat korban, Riyanto menghirup gas beracun dan merasakan lehernya bak tercekik.
Riyanto seperti dilansir SindoNews mengaku sempat berlari sejauh 10 meter, namun gas beracun yang masuk di tubuhnya menumbangkan langkahnya. Sejumlah temannya berusaha menolong Riyanto dengan menyeretnya sejauh 30 meter. Hingga akhirnya takdir berkata lain, Riyanto selamat dari ancaman gas beracun.
“Saat menghirup gas itu seperti leher tercekil. Saya lari tapi baru 10 meter tumbang. Untung teman menyeret saya hingga akhirnya bisa selamat,” kata Riyanto di rumahnya.
Akibat bencana itu, sekitar 149 orang tewas mengenaskan. Banyak jenazah yang mengalami pendarahan hebat. Bukan dari luka atau semacamnya, tapi darah keluar melalui lubang-lubang hidung, mulut, telinga mereka.
Meregang nyawa
Kisah paling tragis dialami Marjunid. Ia harus rela kehilangan anak dan istrinya saat peristiwa itu terjadi. Saat orang-orang berhamburan, Marjunid membangunkan istri dan dua anaknya, lalu bergegas keluar rumah. Udara bau belerang menyerbu, menyesakkan napas. Saat itu, tiba-tiba terdengar dentuman keras. Dari arah bukit di ujung desa, terlihat kobaran api membelah malam. ”Sinila meletus, Sinila meletus,” teriak warga.
Marjunid pun panik dan bergegas mengajak keluarganya mengungsi, ikut iring- iringan warga yang berjalan ke arah barat, menuju pusat Kota Kecamatan Batur.
Setengah jam berjalan, keluarga Marjunid tiba di jalan aspal. Jalan itu merupakan perlintasan utama Batur-Dieng. Marjunid mulai lega, apalagi di ufuk timur langit mulai terang. Cuaca cerah, nyaris tanpa kabut. Tak ada bau aneh. Tak ada suara. Hanya senyap yang menyergap.
Namun, Marjunid dikejutkan pemandangan puluhan orang yang tergeletak di jalanan. Dia mengira orang-orang itu pingsan atau tertidur. Tak terbayang sedikit pun dalam benaknya mereka meregang nyawa.
Marjunid dan keluarganya melangkah di antara tubuh orang-orang yang bergeletakan. Hanya satu atau dua langkah, ketika Marjunid melihat tiba-tiba kedua anaknya terjatuh. Setelah itu menyusul istrinya. Marjunid kaget dan ia berupaya mengangkat mereka, tetapi tenaganya hilang. Dia jatuh dan kepalanya pusing.
Dalam samar, dia melihat dua anak dan istrinya berkelojotan. Sekali lagi Marjunid berusaha berdiri dan meraih tangan anak bungsunya. Namun, kesadarannya menghilang.
Dia baru tersadar sekitar pukul 18.00. Tubuhnya masih lemah dan kepalanya terasa sangat berat. Rekaman gambar orang-orang bergeletak memenuhi bayangan kepalanya. Dia ingat istri dan anak-anaknya yang tersuruk. Saat itu juga dia menyadari bahwa mereka telah tewas. Namun, sampai detik itu, dia belum tahu penyebabnya.
Kompas menulis Marjunid baru tahu dari dokter yang merawatnya bahwa yang menewaskan keluarganya dan juga nyaris membunuhnya adalah racun yang keluar dari Kawah Timbang.
Marjunid selamat dari maut setelah terbaring di rumah sakit selama 13 hari dan harus menjalani rawat jalan hingga dua bulan. Dia kehilangan 12 anggota keluarga, termasuk istri dan dua anaknya.
Paling mengerikan
Beberapa kawah memang mengandung gas-gas yang berbahaya. Bahkan dapat mematikan jika gas yang keluar memiliki konsentrasi yang tinggi. Salah satunya adalah hidrogen sulfida.
Hidrogen sulfida adalah gas yang tidak berwarna, berbau seperti telor busuk, bersifat iritan pada mata dan saluran pernafasan serta akan mematikan syaraf penciuman. Sehingga tidak tercium. Pada konsentrasi yang tinggi, gas ini sangat berbahaya jika terhirup dan dapat menyebabkan kematian.
Gas beracun merupakan ancaman untuk para penduduk yang bermukim di dekat gunung. Kawah yang tidak menunjukan aktifitas vulkaniknya tidak selamanya aman. Terkadang kawah yang diam bisa menjadi reaktif sewaktu-waktu. Hal itu sangat berbahaya jika warga sekitar tidak cepat-cepat sadar dan menyelamatkan diri.
Reporter: Dinda Nurshinta