MATA INDONESIA, JAKARTA – Jalaluddin Rumi merupakan salah seorang penyair sekaligus sufi terbesar sepanjang sejarah. Ia dianggap sebagai pembawa pesan kebenaran melalui syair-syairnya. Dalam hidupnya, ia sangat menghomati gurunya, Syams al-Din Tabriz.
Syams merupakan tokoh darwisy yang gemar bertualang. Ia dikenal dengan nama panggilan “burung”. Nama ini disematkan pada dirinya karena ia tidak bisa tinggal di suatu tempat dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, ia sering terlihat di dua kota berbeda yang jaraknya berjauhan dalam waktu yang sama, seolah-olah ia bisa terbang.
Sedangkan, Rumi berasal dari masyarakat kelas atas. Ibunya merupakan kerabat raja Persia Timur di Khorasan dan ayahnya adalah penasihat pengadilan yang sangat dihormati.
Sebetulnya, Syams sudah memperhatikan Rumi sejak ia berusia 16 tahun. Saat itu, Syams ingin mencari siswa “grand master” dan pilihannya jatuh pada Rumi. Tapi, Syams menilai saat itu Rumi belum begitu siap sehingga ia menunggu 16 tahun lagi untuk mendekati Rumi.
Mereka bertemu kembali saat Syams mengunjungi Konya pada tanggal 28 November 1244. Saat itu, usia Syams sudah menginjak 60 tahun sedangkan Rumi berusia akhir 30-an. Konon, mereka bertemu saat Rumi menunggangi keledainya dan tiba-tiba Syams bertanya “Yang mana yang terhebat, Muhammad atau Bayazid Bastami?”. Rumi menjawab “Muhammad”.
“Lalu apa artinya ini, Nabi berkata kepada Tuhan ‘Aku belum mengenalmu sebagaimana mestinya’ dan Bayazid berkata ‘Alhamdulillah!’” tambah Syams. Mendengar hal ini, Rumi jatuh pingsan.
Rumi dan Syams menjadi sahabat yang tak terpisahkan sejak awal pertemuannya. Syams telah menjadi inspirasi bagi Rumi, hingga ia mengundang Syams untuk tinggal di rumahnya.
Pada zaman itu, kedudukan seseorang dipandang dari kasta sosialnya. Syams masuk ke dalam kastra rendah karena ia merupakan seorang pengembara sederhana dan tuna wisma. Disamping itu, Rumi merupakan orang nomor satu di kota Konya. Bahkan kedudukannya lebih tinggi daripada emir (penguasa).
Kenyataan ini membuat masyarakat tidak menyukai hubungan Syams dan Rumi. Dengan kepandaiannya, Rumi berhasil membuat Syams tetap tinggal bersama dirinya selama mungkin.
Rumi benar-benar tak bisa melepaskan dirinya dari Syams. Ia mengikuti jalan kerohanian yang ditempuh oleh seorang darwisy tersebut. Mereka berdua bersama-sama menyelam dalam masalah ketuhanan dan kemanusiaan.
Karena hal ini, Rumi mulai mengabaikan perhatiannya pada madrasah tempat ia mengajar. Ini menimbulkan bibit kebencian pada Syams. Setelah menerima ancaman berulang kali, Syams memutuskan untuk meninggalkan Konya secara diam-diam.
Kepergian Syams telah meninggalkan luka yang mendalam bagi Rumi. Dengan cepat, ia mengeluarkan pengumuman yang berisikan akan memberikan hadiah untuk setiap berita tentang keberadaan Syams.
Tak lama kemudian, datang berita bahwa Syams terlihat di Damaskus, saat ini Suriah. Dengan segera, Rumi mengirim putra sulungnya, Sultan Wahad untuk menemukan Syams dan memintanya kembali.
Wahad menemukan Syams di Damaskus seperti yang dilaporkan. Untuk memintanya kembali, Walad berlutut dihadapan Syams. Ia mengatakan pada Syams bahwa ayahnya sedang sekarat dan semua orang telah menyesal telah mengusir Syams dari Konya.
Syams setuju untuk kembali. Kedatangan Syams disambut dengan suka cita oleh penduduk setempat. Bagi mereka, kehidupan Rumi lebih berharga dibandingkan dengan perselisihan tentang kelas sosial yang ada.
Agar Syams selalu berada di sisinya. Rumi menikahkan putri tirinya yang berusia 12 tahun bernama Kimia dengan sang guru. Kimia merupakan seorang gadis yang dibesarkan dalam keluarga yang kaya dan berbudaya. Kejadian ini menjadikan Syams dan Rumi sebagai seorang kerabat.
Beberapa bulan kemudian, karena penyakit yang kemungkinan besar disebabkan oleh kesedihan dan depresi, Kimia meninggal. Dengan ini, berakhirlah persahabatan Syams dan Rumi.
Ada yang menceritakan bahwa Syams meninggalkan Rumi saat tengah malam dan kembali berkelana menjadi “burung”. Ada pula yang beranggapan bahwa putra bungsu Rumi telah membunuh Syams karena kehormatan ayahnya serta kematian Kimia.
Kabar tewasnya Syams sampai ke telinga Rumi. Namun, ia bersikeras menolak kabar tersebut. Ia menulis pengalamannya ini dalam syairnya, Diwan-i Syams-i Tabriz.
“Siapa bilang yang abadi telah mati?
Siapa bilang matahari (Syams) telah mati
Lihat, musuh dari matahari (Syams) yang telah datang ke atap
Menutup kedua mata, berteriak ‘O, matahari (Syams) telah mati!’”
Sambil menunggu kabar Syams yang tak kunjung datang. Rumi memutuskan pergi ke Dasmaskus untuk mengurangi rasa kerinduan terhadap gurunya itu. Di sana, ia hidup beberapa tahun dalam pegasingan.
Waktu berlalu, Rumi pun kembali ke Konya. Ia mendirikan tarekat Mulawiyah, yang terkenal dengan tarian gasingnya yang berputar-putar. Kerinduannya pada Syams dan Tuhan ia curahkan sepenuhnya dalam puisi. Dengan puisi, ia mampu membebaskan luka-luka batinnya.
Reporter: Diani Ratna Utami