Saddam Hussein, Presiden Irak yang Berani Melawan Amerika Serikat

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA  – Saddam Hussein merupakan salah satu diktator Timur Tengah yang paling terkenal. Ia memerintah Irak mulai tahun 1973 hingga 2003, setelah ditangkap oleh Amerika Serikat.

Saddam, yang memiliki arti “dia yang melawan”, lahir pada 28 April 1937 di sebuah desa bernama al-Auja, di dekat Tikrit, Irak Utara. Sebelum lahir, ayahnya menghilang dari kehidupannya.

Banyak spekulasi yang muncul terkait hilangnya ayah Saddam ini. Sebagian berpendapat jika bahwa sang ayah dibunuh. Sedangkan lainnya mengatakan jika ia meninggalkan keluarganya.

Beberapa bulan kemudian, kakak laki-laki Saddam meninggal karena kanker. Ibunya sangat terpukul karena kehilangan dua orang yang dicintainya dalam waktu yang berdekatan. Sehingga, ia tak bisa merawat Saddam karena depresi.

Di usia 3 tahun, Saddam tinggal bersama pamannya, Khairullah Tulfah. Beberapa tahun kemudian, Saddam tinggal kembali bersama ibunya setelah Khairullah ditahan karena aktivitas politiknya.

Saat itu, ibunya sudah menikah dengan seorang pria buta huruf yang tidak bermoral dan brutal. Saddam kerap disiksa oleh ayah tirinya. Karena tidak betah, Saddam bersikeras agar tinggal kembali bersama Khairullah setelah ia dibebaskan dari penjara tahun 1947.

Gagal menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Menengah al-Karh, Saddam memutuskan bergabung dengan Partai Ba’ath di usianya yang baru menginjak angka 20 tahun. Partai nasionalis itu memiliki ideologi untuk mempersatukan negara-negara Arab yang berada di Timur Tengah.

Pada 7 Oktober 1959, Saddam dan anggota Partai Ba’ath lainnya berusaha membunuh Abd al-Karim Qasim, Perdana Menteri Irak saat itu. Namun, percobaan pembunuhan oleh Ba’this, yang merupakan anggota Partai Ba’ath, tersebut gagal. Bahkan, beberapa di antara mereka ditangkap kemudian diadili dan dieksekusi.

Walau tertembak kakinya, Saddam mampu melarikan diri ke Mesir dengan seekor kedelai melewati padang pasir. Di sana, ia memutuskan untuk masuk ke Sekolah Hukum Kairo selama setahun dan melanjutkan studinya di Sekolah Hukum Baghdad setelah Ba’thist mengambil alih kekuasaan Irak tahun 1936.

Namun, kekuasaan kaum Ba’this tidak berlangsung lama. Di tahun yang sama, mereka digulingkan dan Saddam dijebloskan ke dalam penjara di Irak selama beberapa tahun.

Selama menjalani masa hukuman, Saddam tetap terlibat dalam masalah politik. Di tahun 1966, ia didapuk sebagai Wakil Sekretaris Komando Daerah. Tak lama kemudian, Saddam berhasil melarikan diri dari balik jeruji besi. Di tahun-tahun berikutnya, ia terus mempertegas kekuatan politiknya dan diangkat sebagai Pemimpin Partai Ba’th.

Saddam turut mengambil bagian dalam sebuah kudeta. Ia kemudian diangkat menjadi wakil dari Ahmed Hassan al-Bakr, Presiden Irak saat itu. Selama masa kepemimpinan Ahmed, Saddam membuktikan dirinya sebagai politisi yang efektif dan progesif.

Ia melakukan berbagai hal untuk memajukan kesejahteraan Irak seperti meningkatkan infrastuktur, industri, layanan sosial, pendidikan, sistem kesehatan, serta memberikan subsidi yang besar kepada rakyatnya.

Saddam juga menasionalisasi industri minyak Irak tepat sebelum krisis energi terjadi tahun 1973, yang menghasilkan pendapatan besar bagi negara. Di waktu yang sama, Saddam membantu mengembangkan program senjata kimia pertama di Irak.

Sebagai bentuk kehati-hatiannya dalam kudeta, ia menciptakan aparat keamanan yang kuat seperti Pasukan Militer Ba’this dan Tentara Rakyat. Namun, dalam bertugas, pasukan tersebut melakukan berbagai tindak kejahatan antara lain penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan.

Tahun 1979, ketika Presiden Ahmed berusaha menyatukan Irak dan Suriah, Saddam memaksa sang Presiden untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Dan pada 16 Juli 1979, Saddam resmi menjadi Presiden Irak.

Kurang dari seminggu setelah kepemimpinannya, Saddam mengadakan pertemuan dengan Majelis Partai Ba’ath. Selama pertemuan, ia membacakan 68 daftar nama orang yang harus ditangkap.

Dari 68 orang tersebut, semuanya diadili dan dinyatakan bersalah karena melakukan pengkhianatan. Bahkan, 22 orang di antaranya dijatuhi hukuman mati. Pada awal Agustus 1979, Saddam melakukan eksekusi terhadap ratusan musuh politiknya.

Di tahun pertama masa kepresidenan Saddam, Ayatollah Khomeini sukses memimpin revolusi Islam di Iran. Saddam yang kekuatan politiknya sebagian besar bertumpu pada dukungan penduduk Sunni, khawatir jika perkembangan Iran yang sebagian besar menganut Syiah dapat menyebabkan berbagai pemberontakan.

Sebagai jawaban dari kekhawatirannya, pada 22 September 1980, Saddam memerintahkan pasukan Irak untuk menyerang Khuzestan, wilayah kaya minyak di Iran. Dengan cepat, konflik berkembang menjadi perang antar negara tetangga itu.

Sebagian besar negara Barat dan Arab yang takut akan penyebaran radikalisme Islam meletakkan dukungannya di belakang Saddam. Selama konflik, Irak menggunakan senjata kimianya. Bahkan, berbagai program yang dicanangkan Saddam berkembang pesat.

Pada Agustus 1988, setelah bertahun-tahun terlibat dalam konflik yang hebat dan menewaskan ratusan ribu penduduk, Irak dan Iran sepakat melakukan gencatan senjata.

Setelah sedikit berdamai dengan Iran, Saddam mengalihkan perhatiannya ke negara tetangganya yang kaya raya, Kuwait, guna merevitalisasi ekonomi dan infrastruktur Irak yang bobrok akbiat dilanda perang.

Berdalih jika Kuwait merupakan bagian sejarah dari Irak, Saddam memerintahkan invasi ke negara tetangganya itu pada 2 Agustus 1990. Dewan Keamanan PBB dengan cepat memberikan sanksi ekonomi terhadap Irak dan menetapkan tenggat waktu hingga 15 Januari 1991, di mana pasukan Negeri 1001 malam itu harus meninggalkan Kuwait.

Saat batas waktu diabaikan, pasukan koalisi PBB yang dipimpin oleh AS membutuhkan waktu selama enam pekan untuk mengusir pasukan Irak dari Kuwait. Mereka pun menandatangani perjanjian gencatan senjata, di mana Irak juga harus menghentikan program senjata kimianya.

Meski sudah memukul mundur pasukannya, sanksi ekonomi yang sebelumnya dijatuhkan terhadap Irak tetap berlaku. Meski kalah telak, Saddam mengklaim kemenangan dalam konflik tersebut.

Kesulitan ekonomi yang dilanda Irak memecah belah sebagian besar masyarakatnya. Selama tahun 1990-an, terjadi berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Syiah dan Kurdi. Merasa terganggu, Saddam membantai para pembangkang tersebut setelah mengerahkan pasukan militernya.

Karena koalisi internasional tidak berusaha menggulingkan Saddam, ia terus menindas kaum Kurdi dan Syiah secara brutal selama rezimnnya. Meskipun Saddam selamat dalam percobaan kudeta tahun 1992 dan 1993, terjadi pembelotan secara besar-besaran tahun 1995 setelah PBB menjatuhkan sanksi yang merugikan Irak.

Meski sudah diminta untuk menghancurkan senjata militernya, Saddam tak menggubris permintaan Dewan Keamanan PBB itu.

Setelah terjadi serangan pada 11 September 2001 di AS yang dikenal sebagai Tragedi WTC, Pemerintah Amerika Serikat menyatakan bahwa Saddam mungkin yang menyediakan senjata kepada teroris.

Pada 17 Maret 2003, George W. Bush, Presiden Amerika Serikat, memerintahkan Saddam untuk mundur dari jabatannya. Bush juga meminta Saddam untuk meninggalkan Irak dalam waktu 48 jam atau menghadapi perang.

Ketika Saddam menolak pergi dari Irak, pasukan AS dan sekutunya melakukan invasi terhadap Irak pada 20 Maret 2003. Pasukan AS melakukan serangan udara di komplek bunker di mana Saddam dianggap bertemu dengan bawahannya.

Dalam serangan itu, Saddam berhasil lolos. Ia pun memutuskan untuk melarikan diri dan bersembunyi di daerah dekat tanah kelahirannya, Tikrit. Beberapa bulan kemudian, ia berhasil dibekuk oleh pasukan khusus AS dan didakwa atas berbagai kasus pembunuhan.

Pada 5 November 2006, Saddam dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung. Saudara tirinya, Barzan Ibrahim dan Kepala Pengadilan Revolusi Irak, Awad Hamed al-Bandar pun dihukum atas tuduhan yang sama.

 

Reporter: Diani Ratna Utami

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Waspada Ancaman Radikalisme Jelang Pilkada Papua 2024

Jayapura – Masyarakat untuk tetap berhati-hati terhadap potensi munculnya ancaman radikalisme, terorisme serta tindakan intoleransi jelang Pilkada Serentak 2024. Menjelang...
- Advertisement -

Baca berita yang ini