MATA INDONESIA, PHNOM PENH – Kamboja terkenal dengan keindahan Situs Arkeologinya, seperti Angkor Wat, Angkor Thom, dan masih banyak lagi. Banyak turis yang tertarik untuk datang ke sana. Tapi dibalik itu semua, tahukah kalau Kamboja sempat dijuluki sebagai “Neraka Dunia”?
Bukan tanpa sebab julukan itu muncul. Konflik yang berujung pada pembantaian jutaan rakyanya hingga tewas.
Awal mula konflik ini Raja Sihanouk yang menjadi kepala negara Kamboja turun tahta karena kudeta pemimpin militer Marsekal Lon Nol yang mendapat dukungan dari Amerika Serikat.
Namun kekuasannya tak berlangsung lama. Muncul kelompok Khmer Merah yang mendapat dukungan dari Cina dan Vietnam melakukan kudeta. Kelompok yang sebutannya Khmer Merah ini pimpinannya adalah Pol Pot, seorang guru dan aktivis yang kharismatik.
Pol Pot
Saloth Sar atau Pol Pot menjadi pimpinan Kamboja pada 1976. Ketika berkuasa, ia banyak membantai rakyatnya. Kekejamannya itu membuat masa pemerintahannya sebagai fase paling kelam sepanjang sejarah di Asia Tenggara.
Di bawah kepemimpinannya, Kamboja dengan cepat bertransformasi menjadi negara satu partai. Visi Pol Pot menciptakan masyarakat sosialis-agraris. Ia yakin Kamboja akan berkembang menjadi masyarakat komunis.
Untuk mewujudkannya, ia memindahkan penduduk kota ke pedesaan. Mereka harus bekerja secara kolektif di sektor pertanian. Kota adalah markas besar Khmer Merah. Makanya ia menghapus uang sebagai alat tukar dan mengeluarkan aturan berpakaian yaitu baju serba hitam dengan model yang sama. Ia punya konsep dalam membangun Kamboja dengan nama Rekayasa Sosial. Isolasi masyarakat Kamboja dari semua pengaruh asing. Rakyat kota diungsikan semua ke area pedesaan. Bank diberhentikan operasionalnya. Sekolah, rumah sakit, dan sejumlah pabrik juga ditutup.
Pol Pot dibantu kawan-kawannya Nuon Chea, Ieng Sary, Son Sen, dan Khieu Samphan. Pol Pot menjadi yang paling berkuasa sebab memegang jabatan sebagai Perdana Menteri sekaligus Ketua Politbiro dan Komite Sentral CPK.
Sebagai konseptor, Pol Pot ingin masyarakat Kamboja “terlahir kembali” melalui kolektivisme dan swasembada absolut. Ia percaya kebijakan itu akan turut merangsang daya produksi kerajinan dan industri negara di masa depan. Pertama-tama rezim Khmer Merah menjalankan evakuasi penduduk kota Phnom Penh ke wilayah perdesaan. Mereka harus meninggalkan profesi lama untuk terjun membuka lahan persawahan serta mengelola dan memanen padi. Kecuali yang punya kemampuan teknis, mereka akan kembali ke kota untuk menjalankan pabrik-pabrik.
Di sinilah genosida dan pembantaian warga berlangsung. Long march ribuan warga kota ke daerah pinggiran membunuh anak-anak, orang tua, dan orang sakit. Mereka yang sampai di lokasi pun mendapat siksaan serupa. Setiap hari mereka kerja dalam waktu yang lama.
Istirahat dan makan adalah hal yang berharga. Banyak yang tewas karena kelelahan, kelaparan akut, atau terkena penyakit mematikan seperti malaria. Pasukan Khmer Merah akan membunuh para pekerja jika berusaha kabur dari komune-komune. Pelanggaran aturan, meski sepele, akan mendapat hukuman berat. Pol Pot membangun seratus lima puluh penjara musuh politik, termasuk dengan mengalihfungsikan gedung-gedung sekolah.
Jutaan Korban
Para korban terbagi menjadi lima kategori. Menurut Rebbeca Joyce Frey dalam Genocide and International Justice (2009).
- Pertama, orang-orang yang punya koneksi dengan pemerintahan sebelumnya. Entah itu Republik Khmer, militernya, atau wakil-wakil pemerintahan luar negeri.
- Kedua, kaum profesional dan intelektual, termasuk mereka yang mengenyam pendidikan tinggi dan mereka yang mengerti bahasa asing. Banyak dari mereka yang berstatus sebagai seniman, musisi, sastrawan, dan pembuat film.
- Ketiga, etnis Vietnam, etnis Cina, etnis Thailand, dan minoritas lain yang menghuni dataran tinggi sebelah timur. Termasuk juga umat Muslim, Katolik, dan biksu-biksu Buddha senior. Pol Pot menghancurkan Katedral Katolik di Phnom Penh. Ia juga memaksa umat Islam untuk memakan daging babi. Mereka yang menolak, langsung eksekusi mati.
- Keempat, para “penyabot ekonomi”. Mereka mantan penduduk kota yang bersalah karena tidak mampu menjalankan tugas agrarisnya.
- Kelima, anggota partai yang berkhianat. Mereka mendapat siksaan atau nyawanya hilang.
The Cambodian Genocide Porgram di Yale University, memperkirakan korban kematian mencapai 1,7 juta jiwa atau sekitar 21 persen dari total populasi Kamboja pada pertengahan 1970-an. Investigasi PBB menyebut perkiraan yang lebih tinggi: antara 2-3 juta.
Rekayasa sosial rezim Khmer Merah berjalan autokratis, xenofobik, paranoid, dan represif. Sejarawan memandangnya sebagai jalan bunuh diri. Kenyataannya, kelompok ini hanya bertahan selama empat tahun. Pada April 1978 Pol Pot menyerukan invasi pendahuluan ke Vietnam. Pasukan Khmer Merah menyeberang ke perbatasan, menyerang desa-desa terdekat, membantai warganya, dan menjarah barang-barang berharga.
Vietnam jelas marah. Negara ini mengerahkan kekuatan militer penuh dan menyerbu ke jantung pertahanan Kamboja, termasuk dalam upaya merebut Phnom Penh.
Vietnam dibantu oleh Front Bersatu Kampuchean untuk Keselamatan Nasional (FUNSK), organisasi militan yang terdiri dari eks anggota Khmer Merah yang tidak sepakat dengan bagaimana rezim mengelola Kamboja.
Pada 7 Januari 1979 keduanya sukses merebut Phnom Penh, dan otomatis mengakhiri rezim Khmer Merah. Pemerintahan baru berasal dari aktivis anti-Khmer Merah. Praktis, sisa-sisa kekuatan Khmer Merah melarikan diri ke area dekat perbatasan dengan Thailand.
Kelompok Khmer Merah akhirnya bertahan di wilayah tersebut. Mereka kemudian malah menjadi penyelundup kayu, berlian, dan makanan. Pendampingnya adalah militer Cina yang bekerja sama dengan militer Thailand.
Masuk di era 1990-an, kekuatan Khmer Merah mulai berkurang. Anggota mereka makin sedikit. Banyak yang menyerahkan diri dan kembali ke Kamboja. Terjadi perpecahan internal di tataran elite—termasuk Pol Pot yang masuk penjara hingga kematiannya pada 1998.
Reporter: Desmonth Redemptus Flores So