MATA INDONESIA, JAKARTA – Bagi warga Jakarta, nama Rasuna Said sudah tak asing lagi. Ini salah satu jalan utama di Jakarta Selatan. Sejumlah kantor dan hunian di Ibu Kota pun memakai namanya.
Namun, siapakah Rasuna Said?
Rasuna Said adalah seorang perempuan bangsawan Sumatera Barat berpredikat rangkayo. Nama lengkapnya, Hajjah Rangkayo Rasuna Said.
Mengutip BBC, sebagaimana dipaparkan dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jajang Jahroni, melalui tulisan berjudul “Haji Rangkayo Rasuna Said: Pejuang Politik dan Penulis Pergerakan” dalam buku Ulama Perempuan Indonesia (2002), Rasuna Said lahir pada 14 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Agam, Sumatera Barat.
Ayah Rasuna, Muhammad Said, adalah seorang aktivis pergerakan dan cukup terpandang di kalangan masyarakat Minang.
Karena berasal dari keluarga bangsawan yang memperhatikan pendidikan, Rasuna bisa sekolah. Namun, berbeda dengan saudara-saudaranya yang mengenyam pendidikan di sekolah umum milik Belanda, Rasuna memilih sekolah agama Islam.
Selepas sekolah dasar, dia belajar di pesantren Ar-Rasyidiyah dan menjadi satu-satunya santri perempuan.
Dari pesantren Ar-Rasyidiyah, Rasuna Said pindah ke Padang Panjang untuk bersekolah di Madrasah Diniyah Putri. Sekolah ini milik tokoh emansipasi perempuan Sumbar, Rahmah El Yunusiyah.
Pemikiran Rasuna mengenai kemerdekaan mulai terbentuk sejak bergabung dengan Sekolah Thawalib di Maninjau. Sekolah Thawalib asalnya adalah gerakan Sumatra Thawalib yang sangat terpengaruh pemikiran Mustafa Kemal Ataturk, tokoh nasionalis-Islam dari Turki.
Dalam catatannya, Jajang Jahroni menulis Rasuna terinspirasi oleh pidato-pidato gurunya, H Udin Rahmani, seorang tokoh pergerakan kaum muda di Maninjau dan anggota Sarekat Islam. ”Ia tumbuh menjadi seorang pribadi yang progresif, radikal, dan pantang menyerah,” tulis Jajang.
Di sekolah itu pula, Rasuna wajib mengikuti latihan pidato dan debat.
“Pidato-pidato Rasuna kadang-kadang laksana petir di siang hari,” tulis A Hasymi dalam buku Semangat Merdeka, 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan (1985) seperti dikutip Jajang Jahroni.
Pada 1926, di usia yang belia, 16 tahun, Rasuna Said memutuskan berkecimpung di ranah politik dengan menjadi sekretaris organisasi Sarekat Rakyat (SR) cabang Sumatera Barat. Tokoh sentral organisasi ini adalah Tan Malaka.
Empat tahun kemudian, Rasuna Said, yang juga tergabung dalam organisasi Sumatra Thawalib, turut merintis pendirian PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia). Pada 1932, PERMI resmi menjadi partai politik yang berlandaskan Islam dan kebangsaan.
Di PERMI, Rasuna bertugas di bagian seksi propaganda. Dia juga berperan mendirikan sekolah, tempat kader-kader muda partai belajar keterampilan membaca dan menulis.
Dalam aktivitasnya sebagai propagandis, Rasuna kerap berorasi di hadapan publik yang mengkritik pemerintah kolonial Belanda. Dalam catatan Jajang Jahroni, Rasuna mengecam cara Belanda memperbodoh dan memiskinkan bangsa Indonesia.
“Karena keberaniannya mengkritik pemerintah Belanda, ia dijuluki ‘singa betina’,” sebut Jajang Jahroni dalam “Haji Rangkayo Rasuna Said: Pejuang Politik dan Penulis Pergerakan” yang dimuat buku Ulama Perempuan Indonesia (2002).
Tak jarang di tengah pidatonya, Rasuna dipaksa berhenti dan diturunkan dari podium oleh aparat pemerintah kolonial Belanda yang khusus mengawasi kegiatan politik (PID).
Puncaknya terjadi ketika Rapat Umum PERMI di Payakumbuh pada 1932. Saat Rasuna berpidato, datang aparat yang memaksanya berhenti. Penangkapanpun terjadi. Rasuna diajukan ke pengadilan kolonial. Pengadilan memutuskan penjara satu tahun dua bulan kepada Rasuna dengan dakwaan ujaran kebencian.
Karena ruang gerak PERMI di Minangkabau semakin sempit, Rasuna hijrah ke Medan. Di sana dia mulai kiprahnya di dunia jurnalistik bersama sejumlah majalah, termasuk Suntiang Nagari, Raya, dan Menara Poeteri.
Di Medan pula, Rasuna mendirikan lembaga pendidikan khusus untuk kaum perempuan. Sebagaimana penuturan Jajang Jahroni, para murid di sekolah itu belajar betapa pentingnya peranan kaum perempuan dalam proses perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Perempuan punya hak setara dengan pria di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Selama era penjajahan Jepang sejak 1942, Rasuna Said terus berkiprah. Ia turut menggagas berdirinya perkumpulan Nippon Raya yang sebenarnya bertujuan untuk membentuk kader-kader perjuangan.
Atas tindakannya ini, Jepang menuduh Rasuna menghasut rakyat. Kepada seorang pembesar Jepang, berdasarkan literatur dari Jajang Jahroni, Rasuna mengatakan “Boleh Tuan menyebut Asia Raya karena Tuan menang perang. tetapi Indonesia Raya pasti ada di sini,” kata Rasuna sambil menunjuk dadanya sendiri.
Setelah Jepang angkat kaki dan Indonesia merdeka, Rasuna bergabung dengan Badan Penerangan Pemuda Indonesia, kemudian menjadi anggota Komite Nasional Indonesia mewakili Sumatera Barat.
Gusti Asnan, sejarawan Universitas Andalas, mengatakan peran dan pengaruh Rasuna Said di Sumatera Barat era 1950-an memudar. “Karena mungkin dia pro-pusat. Rasuna dekat dengan Presiden Soekarno dan penentang PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia),” kata Gusti kepada BBC.
Meski demikian, sosok Rasuna Said tidak kehilangan suara kritisnya. Gusti Asnan mencatat pada 1953, dua tahun sebelum pemilihan umum 1955, Rasuna Said menekankan bahwa sentimen kedaerahan tidak bisa serta-merta hilang.
“Perasaan provinsialisme yang sudah berabad-abad tumbuhnya, tidak mungkin dalam sedikit waktu bisa hilang dari jiwa!…Buat saya sendiri tidak menjadi soal, bahwa perasaan kedaerahan itu masih ada, ini sewajarnya saja (natuurlijk),” cetus Rasuna dalam pidatonya di parlemen pada 1953.
Bagaimanapun, kedekatan Rasuna Said dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta membuatnya bertahan di pusaran politik Jakarta.
Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Volume 1 (2004) mengungkapkan, Rasuna Said juga masuk keanggotaan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) di Jakarta, lalu menjadi anggota parlemen, atau Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat. Jabatan politik terakhir yang adalah anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Pada 10 November 1965, setelah berjuang melawan penyakit kanker, Rasuna Said meninggal dunia pada usia 55 tahun.
Reporter : Nabila Kuntum Khaira Umma