Punan Batu, Suku Pertama di Kalimantan yang Hingga Kini Masih Berburu-Meramu

Baca Juga

MATA INDONESIA, BULUNGAN – Apakah pernah terpikir di zaman serba modern ini ada sebuah kelompok yang masih menerapkan cara hidup manusia prasejarah, yaitu berburu-meramu di dalam rimba?

Ya, ternyata masih ada. Sebuah suku atau sekelompok orang di Kalimantan. Mereka adalah suku pertama yang mendiami pulau Kalimantan. Hingga sekarang, mereka bertahan hidup nyaris tanpa perhatian pemerintah dan masyarakat luas. Namun ruang hidup mereka di hutan Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, kini semakin sempit.

Ekspansi perusahaan kayu dan ladang sawit milik korporasi menyulitkan umbi-umbian liar bertumbuh dan menyempitkan ekosistem binatang buruan seperti babi hutan, rusa, kura-kura, dan kera.

Perusahaan di sekitar orang-orang Punan Batu membuat klaim bahwa operasional mereka tidak menganggu kelompok asli ini.

Jumlah warga Punan Batu sekarang tidak lebih dari 100 orang ini. Ini membuat sejumlah kalangan khawatir suku ini akan musnah karena terdesak oleh peradaban. Sejumlah pakar mencemaskan eksistensi Punan Batu jika mereka terpaksa mengubah cara hidup. Apalagi kalau peradaban menganggap mereka masih buta huruf, tak pernah bersinggungan dengan pendidikan, dan memiliki ketergantungan akut kepada alam.

Siapakah Punan Batu?

Punan Batu merupakan kelompok kecil dalam masyarakat Suku Punan yang tersebar di wilayah timur, utara, dan selatan Kalimantan. Termasuk di Serawak, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Sejumlah literatur antropologi menyebut Punan sebagai pemburu-peramu yang hidup di hulu beberapa sungai Borneo. Namun di antara keluarga besar Punan, hanya Punan Batu yang masih menjalani cara hidup prasejarah.

Sejak era kolonial, Punan lainnya telah bermukim ke desa-desa di luar hutan. Sehingga kehidupan mereka tidak lagi nomaden atau berburu untuk bertahan hidup.

Punan berbeda dengan Dayak yang merupakan istilah untuk masyarakat asli Kalimantan lainnya yang hidup dalam tradisi berladang. Perbedaan itu menurut Pradiptajati Kusuma, pakar genetika dan evolusi populasi karena Punan Batu tidak memiliki genetika austronesia. Seperti Dayak dan masyarakat lain dengan kebiasaan bercocok tanam.

Fakta itu muncul dalam kolaborasi riset lintas negara selama 2018-2019 yang dilakukan Pradiptajati bersama sejumlah peneliti dan organisasi. Termasuk Lembaga Eijkman.

Merujuk riset itu, orang-orang Punan Batu juga terbukti menjalani pola hidup berburu-meramu yang mengharuskan mereka nomaden dari satu lokasi ke tempat lainnya. Mereka hanya tinggal selama delapan sampai sembilan hari di satu goa atau pondok. Setelahnya, mereka berjalan ke goa atau pondok lainnya, yang rata-rata berjarak 4,5 kilometer.

Beragam data ilmiah dalam riset itu menunjukkan orang-orang Punan Batu sudah selama ribuan tahun menjadi pemburu-peramu di Kalimantan. Tanpa pernah beralih ke pola hidup berladang.

Hingga saat ini belum ada bukti arkeologi bahwa tradisi berladang lebih dulu eksis sebelum kemunculan genetik austronesian pada 4000 tahun lalu.

Bodon, orang Punan Batu tertua, menyaksikan bagaimana orang tuanya terus berpindah, berburu untuk mendapat makanan. Mereka tidak pernah menguasai teknik menanam maupun memelihara ternak.

”Orang tua saya dulu tinggal di Liang Tilawang, Pinasing, ke Liang Katewang. Seluruh hutan ini tempat tinggal kami,” ujar Bodon.

Punan Batu hidup di lokasi yang tidak benar-benar terpencil. Sejumlah pondok yang mereka bangun di hilir Sungai Sajau beberapa tahun terakhir dapat terjangkau setidaknya selama tiga jam dari Tanjung Selor, pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Utara.

Perjalanan itu dengan perjalanan darat melalui jalur yang menghubungkan Bulungan dan Berau, lalu berlanjut dengan menyusuri sungai dari Jembatan Sajau Besar.

Keberadaan mereka sudah tercatat dalam riset Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahun 1995. Ketika itu badan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebut Punan Batu sebagai Punan Benau yang hidup di hulu Sungai Sajau.

Istilah Benau dalam riset itu merujuk gunung setinggi 750 meter yang berada di hutan mereka. Gunung ini pada masa lalu merupakan tonggak perjumpaan Punan Batu dengan orang-orang dari luar hutan.

Sebuah cerita secara turun-temurun dari generasi ke generasi Punan Batu, menyebutkan bahwa Kesultanan Bulungan pada masa silam masuk ke hutan dan menjalin hubungan dengan nenek moyang mereka.

Dalam suatu peristiwa, orang-orang Punan Batu pada masa lampau menyerahkan Gunung Benau beserta segala sumber daya di dalamnya kepada kerajaan itu.

Sejak saat itu hingga hari ini, menurut orang-orang Punan Batu, Gunung Benau di hutan mereka masuk menjadi milik para ahli waris Kesultanan Bulungan, termasuk sarang burung walet yang tersebar di goa-goa.

Reporter : BBC/Alyaa

 

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Resmi Jadi Kader NasDem, Sutrisna Wibawa bakal Bersaing Ketat dengan Bupati Gunungkidul

Mata Indonesia, Yogyakarta - Mantan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sutrisna Wibawa, telah resmi bergabung sebagai kader Partai Nasional Demokrat (NasDem). Hal ini jelas memperkuat dinamika politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gunungkidul 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini