MATA INDONESIA, JAKARTA – Meskipun rencana Sinuhun Sri Sultan Hamengku Buwono IX berhasil dijalankan Suharto saat melakukan Serangan Umum 1 Maret 1949, namun Raja Jawa dengan pendidikan barat yang liberal tersebut tidak memiliki kecocokan dengan presiden kedua Republik Indonesia itu.
Selayaknya Raja Jawa Hamengku Buwono IX tidak mengumbar masalah tersebut ke hadapan publik seperti para pejabat zaman now.
Dia menunjukkannya dengan sikap tegas seperti saat menolak jabatan wakil presiden kedua kalinya tawaran Suharto.
Sultan memang menemani perjalanan kepresidenan Suharto sejak 1973 sampai dengan 1978. Salah satu menteri Suharto saat itu, Frans Seda mengungkapkan ditunjuknya Sultan Hamengku Buwono IX sebagai wakil presiden untuk menghilangkan kesan militerisme dalam pemerintahan Orde Baru.
Ternyata posisi wakil presiden di masa Orde Baru tak sebaik yang dipikirkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, karena tidak lebih baik dari era Hatta belasan tahun sebelumnya.
Wakil Presiden RI kedua ini lantas kecewa. Namun sebagai orang Jawa, Sri Sultan tak bisa memperlihatkan kekecewaannya kepada Suharto karena tidak ingin membuat banyak warganya kecewa.
Padahal, peran Sultan di pemerintah pertama Orde Baru tersebut menurut Adnan Buyung Nasution sangat besar di dunia internasional.
Saat itu, Suharto tidak dikenal di dunia internasional. Melalui Sultan lah Indonesia mulai diketahui. Hal tersebut bisa dilakukannya karena sebagai Raja Jawa Hamengku Buwono berskolah hingga manca.
Maka ketika dia mengetahui kandidat pengganti dirinya mendampingi Suharto di periode setelah 1978 adalah Adam Malik, Sultan justru memberi nasihat.
“Sebaiknya jangan terima, karena Anda akan menyesal,” begitu nasihat Sultan yang menunjukkan kemarahannya.
Namun, kita semua tahu Adam Malik tetap menerima tawaran menggantikan Raja Jawa tersebut dan ternyata sepak terjangnya justru diakui memusingkan Suharto.