MATA INDONESIA, JAKARTA – Pahlawan tanpa tanda jasa memang julukan yang pantas bagi guru. Terlebih untuk guru honorer, begitu banyak kisah memilukan yang menerima mereka. Gajinya yang tak seberapa, bahkan tidak sampai 1 juta Rupiah, tapi tetaplah dedikasi untuk murid-muridnya sangat tinggi.
Apalagi untuk guru honorer yang mengabdikan dirinya mengajar di pedesaan dan terpencil yang sangat kurang perhatian dari pemerintah. Terkadang, jarak tempuh yang sangat jauh ke tempat ia mengajar memerlukan waktu berjam-jam dari rumahnya. Belum lagi, aksesnya yang susah karena harus melewati jalanan yang rusak dan becek.
Salah satunya yang harus berjuang dengan profesi mulia itu adalah Ade Irma. Dilansir dari salah satu video di akun YouTube NET Documentary, ia merupakan guru honorer. Ia lulusan sarjana jurusan pendidikan sekolah dasar yang memilih mengabdikan dirinya untuk mengajar di daerah Sukabumi selama 11 tahun.
Ade harus menempuh jarak 12 km setiap hari dari rumahnya ke SDN Sukasari, tempatnya mengajar. Ia menggunakan motornya melewati jalanan yang tak rata, berlubang dan becek.
Ia merasa sudah sangat terbiasa dengan akses susah dan jarak tempuh yang memakan waktu banyak. Ade Irma hanya memikirkan murid-muridnya jika ia tidak datang mengajar. Bahkan jika ia sakit, ia harus berpikir dua kali siapa yang akan mengajarkan dan mengurus murid-muridnya.
Sebagai sarjana awalnya ia masih mendapatkan gaji tunjangan guru daerah terpencil sebesar Rp. 1,5 juta per bulan. Namun sejak Sukasari melepaskan statusnya dari daerah terpencil pada Januari 2016, tunjangan itu pun hilang. Bahkan, Ade hanya digaji sebagai guru honorer sebesar 300 ribu Rupiah per bulan.
Dari jarak tempuhnya saja, gaji sebesar 300 ribu Rupiah tidak cukup selama sebulan. Ia memerlukan kurang lebih hampir 500 ribu Rupiah hanya untuk perjalanannya selama sebulan dengan kalkulasi bensin serharga kurang lebih 8 ribu Rupiah per liter, dengan jarak 12 kilometer pulang pergi.
Ia setidaknya menghabiskan 16 ribu Rupiah per hari hanya untuk biaya perjalannya. Belum lagi untuk kebutuhan sehari-hari. Gaji dengan kerja kerasnya sangat tidak sebanding, tetapi ia tetap mengabdikan dirinya demi murid-muridnya.
Kisah lain berasal dari salah satu video akun YouTube ACT TV. Seorang guru honorer bernama Dedi Mulyani yang mengajar di pelosok Pandeglang, Banten. Sejak 2007, Dedi menjadi guru honorer di SDN Pasirlancar 2.
Ruang kelas tempat ia mengajar mirip bekas gudang yang sudah ditinggal bertahun-tahun. Keramiknya yang mengelupas dan sudah tidak berbentuk. Temboknya yang sudah kusam dan retak besar yang beresiko ambruk. Meja dan kursinya sudah lapuk dimakan usia.
Sebagai guru honorer ia digaji Rp. 12 ribu per hari. Rata-rata ia mendapatkan gaji Rp. 300 ribu per bulan. Namun honornya akan diterima setiap tiga bulan sekali. Jika ia tidak hadir, ia tidak dibayar. Maka jika banyak alpa, gajinya tidak mungkin sampai Rp. 300 ribu per bulan.
Masih banyak lagi kisah guru honorer yang menyedihkan seperti Ade Irma dan Dedi Mulyadi. Gajinya yang tak seberapa namun tetap ikhlas menjalaninya.
Untuk membantu guru honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), pemerintah mengumumkan perekrutan guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim mengatakan perekrutan ini diadakan secara besar-besaran. Kuota yang disediakan oleh pemerintah ada 1 juta untuk guru honorer dengan syarat yang ditentukan oleh pemerintah.
Belum lama ini, Kemendikbud menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) setiap Pendidik Tenaga Kependidikan (PTK) atau PTK non PNS sebesar Rp. 1,8 juta yang mulai dicairkan pada November dan Desember 2020 yang dilakukan secara bertahap.
Para penerima BLT akan mendapatkan kesempatan sampai 30 Juni 2021 untuk mengaktifkan rekening dan mencairkannya. Nadiem Makarim mengatakan bantuan ini diadakan sebagai bentuk apresiasi dan juga keprihatinan pemerintah terhadap guru honorer atau non PNS yang sudah ada.
Reporter: Laita Nur Azahra