MATA INDONESIA, YOGYAKARTA – Pecahnya Kasunanan Surakarta dan Kasunanan Yogyakarta berawal setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti oleh Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jenderal Jacob Mossel pada 13 Februari 1755.
Perjanjian ini berlangsung di Desa Janti, sekarang Dukuh Kreton. Berisi pembagian Negara Mataram menjadi dua wilayah. Sebagian merupakan hak Kerajaan Surakarta dan sisanya menjadi hak Pangeran Mangkubumi.
Perpecahan tanah Jawa tersebut berawal dari pertikaian antar keluarga Kesunanan Surakarta. Terdapat tiga tokoh sentral dalam konflik tersebut, mereka adalah Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa.
Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi merupakan putra dari Amangkurat IV, raja Mataram kedelapan yang memerintah pada tahun 1719 hingga 1726. Sedangkan Raden Mas Said merupakan salah satu cucu Amangkurat IV.
Ketika Pakubuwana II menjabat sebagai raja, Raden Mas Said meminta haknya sebagai pewaris takhta Mataram. Ia menganggap dan menilai layak menjadi raja sebab ayahnya, Arya Mangkunegara, merupakan putra sulung dari Amangkurat IV.
Tetapi, karena Arya Mangkunegara sering menentang kebijakan VOC, ia terpaksa harus mengasingkan diri ke Srilanka hingga meninggal dunia. Kemudian, VOC memutuskan menjadikan Pangeran Prabusuyasa sebagai raja Mataram selanjutnya dengan gelar Pakubuwana II.
Salah satu kebijakan Pakubuwana II adalah memindahkan istana dari Kartasura ke Surakarta. Dengan begitu, lahirlah Kesunanan Surakarta sebagai kerajaan penerus Mataram.
Selain Raden Mas Said, Pangeran Mangkubumi pun turut meminta untuk menjadi pewaris takhta Mataram. Salah satu upaya untuk memenuhi keinginannya itu adalah dengan menemui pejabat VOC di Semarang pada tahun 1746.
Namun, usahanya itu sia-sia. Hingga, ia memilih untuk bergabung dengan Raden Mas Said untuk berjuang bersama melawan VOC. Selain itu, Pangeran Mangkubumi menikahkan putrinya yang bernama Raden Ayu Inten dengan Raden Mas Said.
Kemudian, mereka memilih untuk menyingkir ke tengah hutan, yang nantinya bernama Yogyakarta. Dalam melakukan aksinya, Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said memilih dengan begerilya.
Rupanya, taktik tersebut ampuh dan membuat Pakubuwana II kewalahan. Hal tersebut membuka peluang Pangeran Mangkubumi. Pada 11 Desember 1749, Pangeran Mangkubumi menjadi raja Mataram dengan gelar Pakubuwana III.
Beberapa hari kemudian, tepatnya 20 Desember 1749, Pakubuwana II meninggal dunia. Namun, sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Pakubuwana II terpaksa menandatangani perjanjian untuk memberikan kewenangan kepada VOC dalam pengangkatan raja baru.
Sehingga, pihak VOC mengangkat Raden Mas Soerjadi, putra Pakubuwana II, untuk menjadi pewaris takhta kerajaan dan diberi gelar Pakubuwana III. Padahal, gelar tersebut terlebih dahulu dipakai oleh Pangeran Mangkubumi.
Sepeninggal Pakubuwana II, perlawanan terhadap VOC semakin menggebu-gebu. Hingga akhirnya, Pangeran Mangkubumi menyerang Surakarta dari arah timur, sementara Raden Mas Said menyerang dari arah utara. Sedangkan dari arah barat, pasukan dipimpin oleh Pangeran Hadiwijaya, seorang panglima perang kepercayaan Pangeran Mangkubumi.
Raden Mas Soerjadi yang saat itu masih berusia belia, sangat bingung dan panik melihat situasi tersebut. Kondisi tersebut membuat VOC memanfaatnya dengan siasat devide et impera atau politik pecah belah.
Saat itu, VOC mengutus Tumenggung Surjanapura untuk menghasut Raden Mas Soerjadi dengan mengatakan jika Pangeran Mangkubumi sebenarnya khawatir jika berkhianat. Karena terpengaruh, Raden Mas Soerjadi memutuskan berpisah dengan Pangeran Mangkubumi.
Pada 13 Februari 1755, VOC bertemu dengan kubu Pangeran Mangkubumi. Adapun isi perjanjian adalah Pangeran Mangkubumi berhak mendapat setengah dari wilayah Mataram dan mendapat gelar Sultan Hamengkubuwana I dengan hak turun-temurun.
Selain itu beberapa tuntutan lainnya adalah
- Kesultanan Yogyakarta harus mau bekerjasama dengan VOC.
- Sultan tidak berhak memberhentikan Bupati dan Pepatih Dalem sebelum mendapat persetujuan VOC.
- Bupati yang sebelumnya memihak VOC berhak mendapat pengampunan Sultan
- Sebagai penguasa di Jawa, Sultan tidak berhak menuntut Madura dan daerah pesisir lainnya kepada VOC
- Apabila mendesak, Sultan akan memberikan bantuan kepada Kesunanan Surakarta
- Sultan harus manjual bahan-bahan makanan kepada VOC dengan kesepakatan harga
- Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC.
Setelah ada kesepakatan perjanjian tersebut, Pangeran Mangkubumi pun mendirikan kerajaan baru bernama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kemudian, ia mendeklarasikan sebagai raja dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I.
Sebagai wujud nyata atas berlangsungnya Perjanjian Giyanti, maka pemerintah membangun Monumen Perjanjian Giyanti di Karanganyar, Jawa Tengah.
Reporter: Ratna Utami