MATA INDONESIA, JAKARTA – Sejarah mencatat, dalam Perang Gerilya yang terjadi di Yogyakarta pada 19 Desember 1948. TNI bersama laskar rakyat bahu-membahu menghimpun kekuatan, mulai dari persoalan penyediaan logistik hingga penghimpunan informasi yang bersifat rahasia.
Namun, dari banyaknya sumber sejarah, hanya sedikit yang mengungkapkan peran pelajar dalam kegiatan spionase atau telik sandi.
Sebagai seorang pelajar yang pernah menjadi telik sandi cilik kala itu, Eddy Soekamto (84) membagikan kisahnya. Kini, dia menjabat sebagai Badan Penasihat Paguyuban Wehrkreise III Yogyakarta.
“Saat Agresi Militer Kedua dilancarkan oleh Belanda, sekolahan diliburkan oleh pemerintah daerah Sri Sultan Hamengkubuwono,” ujarnya.
Dia menambahkan, ketika itu usianya baru 13 tahun, berstatus sebagai pelajar SMP Perguruan Taman Siswa.
Baginya, sekolah yang libur itu bukan berarti liburan melepas beban atau kesempatan mengelak tugas sebagai siswa. Pasalnya, saat itu baru saja terjadi pemboman Kota Yogyakarta oleh Belanda dan dua jam setelahnya, tentara Belanda terjun di Maguwo pada pagi hari, 19 Desember 1948.
Eddy tergabung dalam kelompok belajar yang berasal dari beragam sekolah. Mereka pun direkrut sebagai telik sandi yang bertugas memberikan informasi kepada TNI tentang situasi dan kekuatan serdadu Belanda di dalam kota.
Dia mengatakan bahwa dirinya sebagai pelajar malu jika tidak ikut serta, karena di sekolahnya telah diajarkan pendidikan kebangsaan. Oleh sebab itu, Eddy bersedia bertugas sebagai telik sandi.
Perekrutan itu tidak hanya untuk sekolahnya, tetapi juga sekolah lain, seperti sekolah Muhammadiyah dan Pangudiluhur.
“Saya adalah telik sandi dari SWK [Sub-Wehrkreise] 101 di bawah Letnan Satu Amir Murtono.” Buku-buku sejarah mencatat Amir sebagai wakil komandan SWK 101, yang kelak pensiun dengan pangkat mayor jenderal pada masa rezim Orde Baru.
Semenjak Agresi Militer Belanda dimulai, TNI merancang Strategi Wehrkreise atau daerah perlawanan yang sejatinya diadopsi dari strategi Jerman dalam Perang Dunia Kedua. Fungsinya, mempertahankan sebuah wilayah dengan kekuatan militer.
Sistem ini diyakini bisa menghalau kemungkinan serdadu-serdadu Belanda yang terpecah menjadi kekuatan-kekuatan kecil, sehingga bisa memasuki pedalaman Kota Yogyakarta. Strategi perang gerilya bisa saja masuk dalam salah satu strategi wehkreise. Akan tetapi, wehkreise tidak dapat masuk dalam strategi perang gerilya.
Saat itu, Yogyakarta termasuk dalam wewenang Divisi III dan keamanan wilayahnya merupakan tanggung jawab Komandan Brigade 10/Wehrkreise III, yaitu Letnan Kolonel Soeharto.
Wehrkreise III sendiri terbagi dalam beberapa Sub-Wehrkreise, salah satunya Sub-Wehrkreise 101 yang bertugas mengonsolidasi penyediaan perbekalan di setiap kampung, membuka dapur, menghimpun relawan medis, dan berperan sebagai pemberi petunjuk sasaran SWK lainnya. Kesatuan ini dipimpin oleh Komandan Letnan Satu Marsoedi, yang daerah pertahannya meliputi dalam Kota Yogyakarta.
“Kita ini kalau sebagai telik sandi masih pelajar nggak dicurigai,” ujar Eddy. “Sambil main layangan sambil main neker, kita sambil mengamati berapa banyak tentara Belanda di Vredeburg, berapa banyak tentara di Hotel Tugu. Berapa banyak tentara yang ada di Pingit, berapa banyak tentara yang ada di Kota Gede. Dan itu kami laporkan.”
Tugas utama Eddy dan kawan-kawannya adalah mengamati dan menghimpun informasi tentang kekuatan serdadu Belanda yang tersebar di tangsi-tangsi militer mereka. Ia juga mengatakan, karena tak dicurigai, maka selama bertugas para telik sandi tidak dipersenjatai.
“Pelaporannya secara berantai,” imbuhnya. “Kalau langsung ya ketahuan.”
Eddy mengungkapkan satu hal bahwa Belanda juga memiliki banyak spionase yang beredar dan mengamati situasi gerilya. “Orang Indonesia itu banyak yang menjadi mata-mata hanya supaya bisa makan roti dan keju.”
Setiap kesatuan yang terlibat dalam rencana Serangan Umum 1 Maret 1949, biasanya memiliki spionase. Pelajar-pelajar itu mengawali pengabdiannya dalam senyap sebagai salah satu agen rahasia perintis di Indonesia. Kendati berusia belasan, mereka berdedikasi untuk selalu jujur dan dapat dipercaya.
“Tapi Alhamdulillah,” ujar Eddy. “Pada waktu penyusupan TNI ke kota Yogyakarta, tidak ada satu pun mata-mata yang memberikan informasi kepada tentara Belanda.”
Penyerbuan kota saat siang hari pada 1 Maret 1949 pun menjadi bagian dari perjalanan menuju Indonesia berdaulat. Serangan itu mampu memukul mundur tentara Belanda dari Yogyakarta dalam enam jam, kabar segera tersiar ke penjuru dunia bahwa Republik Indonesia masih ada. Perlawanan singkat tersebut turut mempermalukan Belanda dengan propagandanya.
Reporter: Indah Utami