MATA INDONESIA, LATVIA – Di pantai barat Latvia, kawasan Baltik, dahulu kala pernah terdapat puluhan ribu penduduk Livonia. Namun kini, populasinya hanya mencapai 200 orang dan menjadikannya sebagai etnis minoritas terkecil di Eropa.
Livonia atau Liv adalah penduduk asli wilayah Latvia utara dan Estonia barat daya. Mereka menuturkan bahasa Livonia yang tergolong dalam rumpun bahasa Ural; bahasa ini berhubungan erat dengan bahasa Estonia dan bahasa Finlandia. Penutur asli terakhir bahasa tersebut meninggal pada tahun 2013. Pada tahun 2010, diperkirakan terdapat 30 orang yang telah mempelajari bahasa ini sebagai bahasa kedua.
Faktor-faktor sejarah, sosial dan ekonomi dan populasi yang tersebar mengakibatkan penurunan jumlah orang Livonia. Pada abad ke-21 hanya sedikit jumlah orang Livonia yang masih bertahan. Pada tahun 2011, terdapat 250 orang yang mengklaim sebagai orang Livonia di Latvia.
Di Livonia sekarang didiami 12 desa yang membentang sepanjang 40 kilometer di selatan Kolka. Dulunya kawasan ini ramai dengan kehidupan. Kini wilayah ini berubah menjadi pedesaan yang mayoritas rumah pertanian kayu, padang, dan lumbung kayu. Selain itu penduduknya juga sudah mulai menua.
Seorang warga asli Livonia, David Stalts menceritakan asal muasal sukunya itu. Ia adalah cucu seorang pelaut Livonia. ”Kakek saya seorang pahlawan. Ia memiliki tangan besar yang keras bagaikan baja,” katanya.
Menurut Stalt, kakeknya merupakan salah satu penutur asli terakhir bahasa Livonia, bahasa yang sekarang nasibnya terancam punah. Tidak seperti bahasa Latvia yang merupakan bahasa Indo-Eropa dari kelompok Baltik. Bahasa penduduk itu termasuk dalam kelompok bahasa Finno-Ugric, yang sebagian besar digunakan oleh etnis minoritas di Rusia modern. Sayangnya, tata bahasa Livonia sangat rumit yakni memiliki 17 ciri; seperti kata benda yang tidak memiliki gender; dan tidak ada kalimat dengan bentuk masa depan.
Merujuk pada kisah penduduk Livonia, dahulu kala mereka cukup berkembang pesat di pantai barat Latvia. Terlebih saat itu masih terdapat 30.000 orang yang mampu berbicara bahasa Livonia. Walau wilayah itu sempat berpindah tangan dari Jerman ke Rusia, mereka tetap melestarikan seluruh warisannya. Sayangnya, pada era peperangan dan pendudukan Soviet identitas mereka terancam punah. Pemimpin Sovyet, Joseph Stalin menumpas siapapun yang membawa identitas suku dan daerah. Nasib keluarga Stalts adalah bukti cobaan mengerikan yang dialami banyak orang Livonia ketika Soviet “menyapu” negara-negara Baltik saat Nazi mundur pada tahun 1944.
David Stalts menceritakan bagaimana saat itu saudara laki laki dari kakeknya melarikan diri dari desa Kolka menuju ke Swedia. Namun, nasib sial menimpa saudara perempuan dari kakeknya itu, ia ditangkap dan dijatuhi hukuman selama 25 tahun di Siberia. Seiring jalannya waktu, Latvia berhasil meraih kemerdekaanya pada tahun 1991. Meski begitu, warga etnis Livonia terpecah belah dan terjadi perkawinan silang antara kedua penduduk tersebut. Akibatnya, pengguna bahasa Livonia berkurang sedikit demi sedikit.
Menurut Stalts, Grizelda Kristiņa, penutur asli terakhir bahasa Livonia, meninggal pada tahun 2013. Dan ini menyisakan segelintir orang Livonia yang hanya dapat berkomunikasi dalam bahasa tersebut. Para orang tua terlalu takut akan hukuman dari Soviet jika berbicara dengan anak-anak mereka dalam bahasa Livonia.
”Karena itulah bahasa ibu kami hampir punah,” keluh Stalts. “Hanya dalam waktu 50 tahun, Uni Soviet melakukan apa yang tidak bisa dilakukan 700 tahun zaman Jerman. Ini sulit, sangat sulit bagi bangsa kami.”
Pertanyaanya, apakah penduduk Livonia masih bisa memiliki masa depan? Apa masih ada yang mau mengakui dirinya sebagai warga etnis tersebut?
Dzeneta Marinska seorang wanita pengelola salah satu wisma dikawasan tersebut mengaku ia tak terlalu peduli dirinya orang Livonia atau bukan. Ia tidak kenal kakek dan neneknya. Ia pun tak bisa bicara dengan bahasa Livonia. Yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana masa depan dia dan anak-anaknya. Hal ini yang membuat banyak orang khawatir. Peluang masa depan dari warga etnis Livonia sangat kecil.
Padahal banyak penemuan sejarah di kawasan ini yang menggambarkan etnis Livonia. Di hutan Mazibre terdapat sebuah kuburan perahu yang menjadi simbol dari bencana yang menimpa komunitas Livonia. Saat itu Uni Soviet dengan keji melarang penangkapan ikan komersial. Dari situ mereka memilih untuk menjauh dari desa dan mencari mata pencaharian baru. Kini, kisah tersebut sudah menjadi sejarah yang akan terus diingat.
Meski populasi warga etnis Livonia mulai berkurang, faktanya minat terhadap budaya tersebut bangkit kembali dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu berkat bantuan dari Latvia dan berbagai LSM asing. Alhasil banyak orang Livonia yang mampu mencegah hilangnya warisan mereka. Hebatnya lagi, anak anak sudah mulai belajar bahasa dari nenek moyang mereka.
Dari 200 orang penduduk asli warga etnis Livonia, 30 diantaranya masih mampu berbicara bahasa tersebut. Walau belum terlihat apakah penduduk mereka akan bertambah, setidaknya budaya masih bisa dilestarikan. Hal itu juga sedang diupayakan oleh David Stalts beserta pacarnya Monta Kvjatkovska. Mereka berdua berusaha untuk membuat generasi muda mampu berekspresi dengan cara beryanyi dalam bahasa Livonia.
Selain itu, mereka juga menyelenggarakan Festival Lagu Livonia di Riga. Adapun rangkaian acaranya yaitu menampilkan berbagai pertunjukan tradisional dan kotemporer. David Stalts mengatakan bahwa hal ini baik untuk kedepannya. “Saya tidak tahu apakah jumlah komunitas akan bertambah, tapi saya merasa optimis. Saya rasa semakin banyak orang yang akan menemukan dan memahami bahwa budaya ini penting bagi mereka. Mungkin seiring jalannya waktu komunitas Lovina akan meneruskan generasinya,”kata David Stalts.
Reporter : R Al Redho Radja S