MATA INDONESIA, JAKARTA – Tradisi ngayau atau kayau salah satu tradisi mengerikan yang pernah dilakukan beberapa Suku Dayak. Itu adalah kegiatan berburu kepala manusia untuk menandakan keberanian.
Dahulu, jika ada seseorang lelaki yang ingin menikahi seorang perempuan, maka kepala manusia digunakan sebagai persembahan.
Tetapi tak semua Suku Dayak menjalankan tradisi ini, hanya Suku Daya Ngaju, Dayak Kenyah, dan Dayak Iban. Bagi Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, tradisi itu merupakan hal wajib yang dilakukan kepentingan Upacara Tiwah.
Ritual Tiwah sangat sakral dan penting dalam mengantar jiwa seseorang ke tingkat kehidupan selanjutnya.
Masyarakat Dayak Ngaju memiliki kepercayaan jika mereka yang melakukan prosesi tiwah untuk keluarganya, maka arwah orang yang meninggal akan tetap berada di dunia dan tidak dapat menuju ke tempat asal. Biasanya lelaki adat yang kuat berkelahi menjadi incaran mereka yang sedang melakukan ritual itu.
Sementara pada Suku Dayak Kenyah, tradisi ngayau berkaitan dengan Tradisi Mamat. Itu adalah tradisi untuk menyambut para prajurit yang kembali dari perburuan dan berhasil mengkalahkan musuh.
Tradisi Mamat Bali Akang yang sangat keramat tersebut berisi iringan alat musik tradisional seperti sampe, gambangan kayu, dan para perempuan yang menari Datun Julud untuk menyambut para pahlawan tersebut.
Sedangkan pada Suku Dayak Iban, tradisi berburu kepala ini disebut Gawai. Upacara ini bersifat religius, tetapi juga diselingi dengan pesta besar-besaran dengan minum-minumdan bersenang-senang.
Namun tradisi mengerikan itu ditinggalkan beberapa suku Dayak pada 1874. Saat itu, Damang Batu, Kepala Suku Dayak Kahayan mengumpulkan sub-sub Suku Dayak untuk mengadakan musyawarah yang diberinama Tumbang Anoi.
Isi pertemuan itu adalah perjanjian mengakhiri tradisi ngayau karena dianggap menimbulkan perselisihan di antara suku Dayak.
Tetapi pada 2001 saat bentrokan di Sampit antara Suku Dayak dengan Suku Madura yang merupakan pendatang, tradisi mengerikan itu seperti kembali dilakukan.
Hasilnya ratusan korban berupa tubuh tanpa kepala berjatuhan akibat perburuan yang tiada henti. Beruntung praktik tersebut tidak meluas dan berlanjut sehingga hanya pada konteks perselisihan kedua suku tersebut saja.(Nita Khairani)