MATA INDONESIA, JAKARTA – Keragaman suku dan budaya di Indonesia membuat negara kesatuan ini menjadi negara yang unik. Satu hal yang membuat masing-masing suku memiliki keunikan tersendiri adalah adat istiadatnya.
Salah satunya tradisi pemakaman yang dilakukan oleh masyarakat Minahasa Utara, Manado. Umumnya, jenazah dikubur di bawah tanah dengan posisi yang dibaringkan. Lain halnya dengan warga Minahasa yang memasukkan jenazah ke dalam sebuah batu besar.
Waruga terdiri dari dua bagian, yaitu bagian badan dan bagian atap. Meski bagian badan waruga umumnya sama, namun atap waruga selalu mempunyai ukiran yang berbeda-beda. Ukiran atau pahatan yang ada pada atap waruga menunjukkan status sosial dan profesi jenazah seseorang yang ada di dalamnya.
Batu besar tersebut namanya Waruga, yang terdiri dari dua kata, ‘waru’ yang berarti rumah dan ‘ruga’ yang berarti badan. Bisa disimpulkan waruga ini adalah tempat badan di mana roh dari badan tersebut telah kembali pada Yang Maha Kuasa.
Konon, mayat yang telah dimakamkan dengan cara seperti ini akan berubah dengan sendirinya menjadi abu tanpa melalui proses kremasi. Hal unik lainnya, waruga itu tidak dibuat oleh keluarga atau kerabat mereka, melainkan orang yang meninggal itu sendiri.
Posisi mayatnya tidak dibaringkan, melainkan kaki jenazah ditekuk, hingga tumit menempel pada pantat serta kepala yang mencium lutut. Hal ini bukan tanpa sebab, masyarakat Minahasa meyakini bahwa orang yang sudah meninggal akan kembali ke posisi dimana saat dia di dalam kandungan.
Oh iya, posisinya juga harus menghadap ke utara. Mengapa harus menghadap ke arah utara? Karena adanya unsur simbolik yang menandakan bahwa nenek moyak Suku Minahasa berasal dari bagian utara.
Namun tradisi penguburan seperti ini sudah ditinggalkan sejak zaman Belanda dahulu, karena saat mayatnya membusuk, baunya bisa menyebar ke mana-mana. Selain itu, pembusukan mayat itu juga menyebabkan adanya wabah kolera di sekitar Manado. (Dinda)