MATA INDONESIA, MADINAH – Jalur kereta api Hejaz membentang dari Damaskus, Syiria hingga Madinah di Arab Saudi. Rute ini dibangun pada masa Kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun 1908.
Jalur kereta api Hejaz dibangun untuk mempermudah perjalanan ibadah haji. Walau perannya sudah tidak lagi sama seperti zaman dahulu, kini jalur itu menjadi daya tarik bagi para turis.
Untuk menuju ke stasiun itu, para pengujung harus melakukan perjalanan lewat kota bersejarah, memutar di atas perbukitan serta mengitari benteng kuno dan bangunan peninggalan Romawi. Perjalanan tersebut tidaklah mudah karena akan ada kemacetan di ibu kota Yordania.
Menariknya, para pengunjung akan merasakan suasana yang berbeda ketika masuk ke dalam gerbang batu. Lalu, bagaimana awal mula jalur kereta Hejaz dibangun?
Awalnya, sebelum jalur kereta ini dibangun, beberapa orang yang ingin menunaikan ibadah haji melalui jalan darat melakukan perjalanan selama berminggu minggu, bahkan berbulan bulan dengan menunganggi unta. Untuk perjalanan dari Damaskus menuju Madinah saja mereka menghabiskan waktu hingga 40 hari sehingga banyak peziarah yang meninggal dunia akibat akibat keringnya padang pasir.
Pada tahun 1848, Sultan Abdul Hamid II yang menjadi pemimpin Kekhalifahan Turki Utsmani memerintahkan pembangunan jalur kereta ini untuk mengatasi dan memangkas perjalanan ibadah haji. Terbukti, setelah jalur ini jadi dan kereta api bisa melintas, perjalanan dari Damaskus ke Madinah bisa dilakukan hanya dalam waktu lima hari perjalanan. Jalur kereta api ini melintasi lima wilayah, yakni Turki, Suriah, Yordania, Israel, dan Arab Saudi. Kereta yang melintasi jalur kereta api Hejaz mampu mengangkut hingga 300 ribu penumpang pada tahun 1914 dan dengan jarak lebih dari 1.300 Km.
Setelah proyek itu selesai dibangun, pemerintahan Turki pun berencana untuk memperpanjang jalur utara menuju Istanbul yang saat itu merupakan ibu kota Kekhalifahan Turki Utsmani dan jalur selatan ke kota Mekkah. Sayang, rencana itu tidak berjalan dengan baik.
Menariknya, proyek tersebut dibiayai oleh sumbangan umat Muslim yaitu diambil dari pajak kekhalifahan Ottoman tanpa adanya investasi asing. Alhasil, rute itu dianggap sebagai wakaf umat Muslim. Hal itu dikatakan langsung oleh Azmi Nalshik, pimpinan jalur kerta api Jordan Hejaz. ”Jalur kereta api itu bukan milik negara, bukan milik perorangan, tapi milik umat Islam di dunia. Layaknya masjid, hal itu tidak bisa dijual. Semua Muslim di dunia, bahkan dari Indonesia atau Malaysia mengklaim saya sebagai pemilik saham disini,” kata Azmi Nalshik.
Sebenarnya, ide awal dari Sultan Abdul Hamid II selain untuk perjalanan haji, jalur kereta api ini dapat menghubungkan seluruh masyarakat di wilayah kekuasaan Kekhalifahan Turki Utsmani. Sultan berencana untuk menyatukan umat Muslim dan menjaga kepentingannya di wilayahnya.
Bagi Sultan Abdul Hamid II, menyatukan dunia Muslim bukan hanya semata keharusan spiritual, tetapi juga memiliki manfaat praktis. Selama beberapa dekade sebelum jalur perkeretaapian dibangun, sejumlah negara yang menjadi musuhnya telah menggerogoti wilayah kekuasaan Turki.
Prancis mencaplok Tunisia; Inggris menguasai Mesir; Rumania, Serbia dan Montenegro memilih merdeka.
Dengan menghubungkan seluruh masyarakat di berbagai wilayah yang dikuasai Turki, sultan ingin menyatukan tidak hanya dunia Muslim – tetapi juga demi kepentingan kerajaanya.
Dan pada tahun 1908, setelah diresmikan, kereta api pun melaju kencang dari Damaskus ke Madinah. Tetapi, pada tahun berikutnya, sultan digulingkan.
Pada Perang Dunia I, Turki menggunakan jalur kereta api itu untuk kepentingan militernya. Jalur itu diporak-porandakan oleh perwira Inggris bernama TE Lawrence, yang dijuluki Lawrence of Arabia, bersama pemberontak Arab yang memilih keluar dari Kekhalifahan Turki Utsmani.
Setelah perang berakhir, ketika Inggris dan Prancis membagi-bagi wilayah yang kini bernama Suriah dan tetangga-tetangganya, upaya mempertahankan jalur kereta api Hejaz terbengkalai. Bahkan sebagian besar jalur kereta api itu hancur karena tidak diurus.
Dan sekarang, lokomotif tua peninggalan Turki Utsmani itu tampil molek di stasiun kereta api di Amman. Sebagian badannnya dicat ulang dengan warna-warna terang.
Sebuah ruangan disulap menjadi museum yang menampilkan pernak-pernik terkait jalur kereta bersejarah itu, mulai lembaran tiket lama, foto-foto kuno, lentera, dan potongan rel kereta api.
Salah-satu gerbong kereta yang sudah direstorasi dengan gaya awal abad ke-20 pun ditampilkan pula – lengkap dengan kursi beludru nan mewah, lampu berlapis emas – seolah memberi kesan kemewahan masa itu. ”Kisah jalur kereta api Hejaz merupakan tragedi dalam arti sebenarnya,” ujar seorang pengamat Transportasi doi Turki, Sheikh Ali Attanttawi setelah sebagian besar jalur kereta api itu lapuk dimakan zaman.
“Jalur itu ada di sana, tapi tidak ada kereta yang berjalan di atasnya… bangunan stasiun masih ada, tapi tanpa ada penumpang.
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa bagian dari jalur kereta api Hejaz itu telah dihidupkan kembali sedikit demi sedikit.
Israel, misalnya, menghidupkan kembali jalur kereta api dari Haifa ke Beit She’an pada tahun 2016. Lalu jalur kereta api dari Amman ke Damaskus sempat dibuka kembali hingga dihentikan pada akhir 2011 – jalur ini begitu populer sehingga sejumlah warga sempat sedih saat ditutup karena tidak bisa mendatangi Damaskus di akhir pekan.
Arab Saudi, yang dilalui jalur kereta api bersejarah itu, belum menghidupkan kembali jalur tersebut, tetapi telah memiliki museum dan menganggap sejarah kereta api merupakan peninggalan penting perjalanan negara itu.
Di Amman, sebuah museum baru sedang dibangun di komplek stasiun, sebuah bangunan seluas 3.000 meter persegi yang diperkirakan akan selesai pada akhir 2018. Museum itu didanai oleh pemerintah Turki.
Dan di Yordania, dua jalur kereta api itu dihidupkan kembali. Para wisatawan dapat menumpang gerbong yang ditarik lokomotif uap melalui jalur rel yang membentang di padang pasir di Wadi Rum – jalur kereta yang pernah diserang Lawrence of Arabia.
Dan ada pula kereta api mingguan yang beroperasi sepanjang tahun dari Amman ke stasiun Al-Jizah, yang kebanyakan digunakan warga setempat untuk rekreasi.
Maka, jangan heran, setiap hari Sabtu pagi, stasiun kereta api Hejaz Amman akan dipadati kaum ibu dengan anak-anaknya. Kaum perempuan yang mengenakan jilbab dengan warna terang membawa kantong makanan terlihat hilir mudik di stasiun itu. Sementara anak-anak bermain bola dan boneka.
Kereta jurusan Amman ke Al-Jizah sejauh 35 km yang melaju dengan kecepatan maksimal 15km per jam memakan waktu sekitar dua jam.
Ketika kereta perlahan meninggalkan stasiun, sebagian bocah memekik riang. Berkerumun di luar gerbong masing-masing, mereka menggantung di atas pagar, seraya menunjuk ke arah jalanan kota.
Ketika kereta berderik, merangkak pelan, melewati pinggiran kota Amman, panoramanya tidak menarik. Uniknya, jalur kereta bersejarah ini kadang-kadang bersanding dengan jalan raya modern, atau terkadang pula memotongnya.
Di sebuah persimpangan berbelok melewati mobil-mobil yang diparkir, sebuah truk pick-up yang sarat dengan kotak berisi buah-buahan, serta beberapa ayam jantan yang mengais-ngais makanan di trotoar.
Seorang lelaki tua dan cucunya mengintip melalui lubang di dinding. Anak-anak kecil berlari ke kereta, lalu melemparkan cangkir plastik. Ddan ada pula yang menutup telinga ketika suara derita berlomba dengan kebisingan jalanan kota Amman.
Tidak masalah: anak-anak di kereta api tetap menyenangkan. Banyak dari mereka, adalah anak-anak dari Amman, yang sepertinya gembira melihat kota mereka dengan perspektif yang berbeda. Dan ada satu kelompok kecil anak-anak- yang memancarkan senyuman lebar – mereka adalah pengungsi Suriah.
Bagi anak-anak itu semua, perjalanan kereta di atas jalur Hejaz ini adalah petualangan.
Di dalam gerbong penumpang, sementara itu, sebuah pesta sedang disiapkan. Para perempuan itu membunyikan musik, dengan volume tinggi, pada alat memutar musik berukuran kecil yang mereka bawa. Para perempuan itu berdiri dan menari.
Dua jam kemudian, kereta tiba di stasiun Al-Jizah, dan semua orang keluar, menuju meja di bawah naungan pohon-pohon zaitun.
Lalu botol minuman teh dikeluarkan; begitu juga manakish (sejenis kue datar seperti pizza) yang diberi za’atar diatasnya, mo’ajanat (kue kering yang digoreng, lalu digulung) dan falafel. Di sekitar belakang stasiun, para remaja menikmati hookah yang sengaja mereka bawa untuk acara ini.
Inilah perjalanan naik kereta api yang mereka nikmati saat ini: untuk jalan-jalan dan berbagi kesenangan.
Tampaknya sangat sulit membayangkan bila suatu saat nanti kereta api akan membawa para wisatawan dari Suriah ke Arab Saudi. Tetapi, selama warisan itu masih ada, bukan tidak mungkin hal itu akan terjadi. Menarik untuk ditunggu bukan?
Reporter : R Al Redho Radja S