Menikahi Pemimpin Besar Palestina, Suha Arafat Merasa Kesepian dan Menyesal

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Menikah dengan seorang tokoh apalagi negarawan ternyata tidak selalu seindah sangkaan masyarakat umum.

Hal itulah yang dialami Suha At-Tawil yang menikahi tokoh besar Palestina dan dunia, mendiang Yasser Arafat.

Yasser Arafat tidak hanya dikenal seluruh warga Palestina, tetapi juga warga dunia terutama umat Islam.

Pendiri Fatah, partai politik yang dipimpinnya sejak 1959 sampai dengan 2004 tersebut menjadi simbol perlawanan di kalangan Islam Indonesia karena perlawanannya terhadap Pemerintah Israel agar bangsa Palestina bisa mendirikan negara berdaulat.

Palestina adalah cinta pertama Arafat. Maka, di awal perjuangannya dia membentuk Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang berusaha menghadirkan hidup damai bagi bangsa Palestina.

Tidak terhitung jumlah perjanjian yang dibuatnya dengan Israel, seperti halnya berapa kali dia mengangkat senjata memerangi bangsa tetangganya tersebut.

Maka di mata Bangsa Palestina Arafat adalah pejuang kemerdekaan yang heroik (bersifat pahlawan) dan menjadi martir (orang yang rela menderita atau mati untuk mempertahankan agama) untuk mereka.

Sementara, Pemerintah Israel mengenalnya sebagai teroris yang tidak pernah menyesali perbuatannya. Hingga saat ini, Arafat masih diingat sebagai tokoh kontroversial.

Sebagai tokoh dan negarawan, banyak perempuan ingin menikah dengan Arafat, akan tetapi hatinya berlabuh pada perempuan bernama Suha Tawil, seorang Katolik yang selanjutnya memeluk Islam.

Perbedaan usia mereka terbentang panjang. Saat menikah, Arafat sudah berusia 61 tahun, sedangkan Suha baru 27 tahun.

Mereka bertemu karena dikenalkan Ibunda Suha, Ramonda Al-Tawil saat keduanya berada di Prancis.

Usai pertemuan itu, Suha bekerja sebagai sekretaris Yasser di Tunisia. Mereka menikah secara diam-diam di Tunisia tahun 1990 kemudian keduanya dikaruniai seorang anak, bernama Zahwa.

Sebenarnya, ibu Suha tidak setuju anaknya menjalin hubungan asmara bahkan sampai menikah dengan Yasser Arafat, meski dia yang mengenalkan keduanya.

Saat mengetahui mereka menikah, Ramonda tak tinggal diam. Ia pergi ke Tunisia untuk menentang pernikahan karena perbedaan usia yang sangat jauh itu.

Suha Arafat juga mengakui sejak awal hubungan mereka tidak mudah karena keluarga dan orang-orang terdekat mereka ikut-ikutan menentang.

Setelah menikah, Suha menyadari bahwa menjadi istri seorang tokoh dan negarawan seperti Arafat tidak seindah bayangannya.

Sangat besarnya kecintaan sang suami terhadap Palestina membuat Suha sering ditinggal sendiri sehingga membuat dia sering merasa kesepian dan sendirian.

Suha yang menuntut ilmu di Universitas Sorbonne, Paris tersebut merasa terkekang karena semasa kuliah dia terbiasa hidup bebas ala masyarakat dunia Barat.

Apalagi, sebagai seorang negarawan, Arafat juga harus mengikuti protokol keamanan maupun “ramah” kepada jurnalis, terutama dari media berpengaruh dunia.

Usai prosesi pernikahannya dengan Yasser yang diungkap ke publik, Suha mengisolasi diri untuk tetap aman. Dia juga harus selalu berhati-hati jika sedang bicara via telepon karena khawatir dibajak.

Namun, saat ia mencoba meninggalkan Yasser, tidak pernah diizinkan. Suha mengatakan, sesudah menikah dengan Arafat, ia mendapat banyak larangan dari sang suami. Namun, di sisi lain ia juga berpikir bahwa dia akan kesulitan tanpa kehadiran Arafat.

Pada 11 November 2004, Yasser Arafat meninggal dunia. Setelah wafatnya sang suami, Suha sebenarnya banyak mendapat lamaran nikah dari beberapa orang, namun tidak ada yang diterima.

Dia bersama anaknya, Zahwa saat ini hidup dari dana pensiun Otoritas Palestina yang setiap bulannya sebesar Rp 128 juta atau 8.450 Poundsterling. (Annisaa Rahmah)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Resmi Jadi Kader NasDem, Sutrisna Wibawa bakal Bersaing Ketat dengan Bupati Gunungkidul

Mata Indonesia, Yogyakarta - Mantan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sutrisna Wibawa, telah resmi bergabung sebagai kader Partai Nasional Demokrat (NasDem). Hal ini jelas memperkuat dinamika politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gunungkidul 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini