MATA INDONESIA, JAKARTA – Siapa yang tak mengenal Laksamana TNI (Purn) Sudomo di masa Orde Baru. Beberapa kebijakan yang diambil Sudomo mewarnai perjalanan sejarah bangsa ini. Petinggi militer yang terkenal di masanya karena jabatannya sebagai Pangkopkamtib, menjadi Menteri Tenaga Kerja, Ketua DPA hingga menjelang akhir hayatnya sebagai anggota Jemaah Tabligh.
Sudomo, lahir di Malang, Jawa Timur, 20 September 1926 – meninggal di Jakarta, 18 April 2012 pada umur 85 tahun, sejak muda tertarik dengan sektor kelautan. Ia melanjutkan studi ke sekolah pelayaran setelah lulus dari sekolah menengah di Malang pada 1943. Bahkan, setahun kemudian ia sudah turut mengajar di sebuah sekolah pelayaran di Pasuruan.
Ketika Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut dibentuk pada 1945, Sudomo mendaftarkan diri dan diterima. Karier militernya di Angkatan Laut melesat cepat. Hanya dalam 5 tahun, Sudomo sudah menjadi Komandan Kapal Patroli RI di Flores dan Riau dengan tugas memberantas penyelundupan.
Sudomo juga dipercaya turut memimpin operasi Mandala dengan misi membebaskan Papua dari Belanda. Ini sesuai dengan seruan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang didengungkan Presiden RI pertama Sukarno tanggal 19 Desember 1961.
Saat itu Sudomo yang berpangkat kolonel ikut ambil bagian dalam operasi senyap di Perairan Maluku pada 15 Januari 1962. Misi rahasia itu melibatkan tiga kapal, yakni KRI Harimau, KRI Macan Tutul, dan KRI Macan Kumbang. Namun, pergerakan mereka diketahui oleh Belanda. KRI Macan Tutul pun ditenggelamkan serta menewaskan Komodor Yos Sudarso. Beruntung, Sudomo selamat dalam bentrokan di Laut Aru itu.
Setelah tragedi tersebut, Sudomo dikirim ke Makassar untuk membantu Panglima Mandala, Mayor Jenderal Soeharto, sebagai Panglima Angkatan Laut Mandala. Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi (2013) menyebut kerja sama Soeharto-Sudomo di Makassar itulah menjadi awal hubungan yang berlangsung puluhan tahun kemudian.
Sejak Soeharto secara sistematis mengambil alih kekuasaan dari Soekarno usai terjadinya Gerakan 30 September 1965, Sudomo juga mengambil andil krusial meskipun tidak langsung di pusat. Saat itu, Sudomo menjabat sebagai Panglima Angkatan Laut Kawasan Maritim Tengah sekaligus Pembantu Menteri Perhubungan Laut. Sudomo bertugas membantu Kepala Staf Angkatan Laut saat itu, Jenderal Soemitro, untuk melakukan “pembersihan” AL dari orang-orang PKI.
Pada tahun 1969, Sudomo diangkat sebagai Kepala Staf TNI AL, jabatan yang sebelumnya diduduki oleh Soemitro. Saat Soeharto benar-benar berkuasa sebagai Presiden RI ke-2, Sudomo pun mulai berperan layaknya tangan kanan bagi sang presiden.
Ia pasang badan untuk memastikan Orde Baru aman dari segala bentuk ancaman, bahkan yang belum nyata sekalipun, termasuk dari aksi para mahasiswa maupun orang-orang yang ditengarai sebagai lawan politik Soeharto. Sudomo juga memadamkan sinyal-sinyal yang berpotensi mengancam stabilitas nasional.
Sudomo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Kaskopkamtib) mulai memberengus sejumlah media massa nasional yang membesar-besarkan aksi demo mahasiswa lewat pemberitaan. Tak hanya itu, ia juga mengerahkan militer untuk menduduki beberapa universitas dan menahan setidaknya 143 mahasiswa yang dianggap sebagai provokator. Bahkan beberapa dari mereka diseret sampai ke meja hijau.
Prestasi itu mendorong Presiden Soeharto menjadikannya sebagai Panglima Kopkamtib pada awal Orde Baru tahun 1974. Posisi ini pula yang mendorongnya ke pentas politik nasional dengan beberapa kebijakan kontroversial.
Sudomo kemudian menjadi Menteri Tenaga Kerja periode tahun 1983-1988 dan Menteri Koordinasi Politik dan Keamanan (Menkopolkam) tahun 1988-1993. Sudomo juga dipercaya sebagai Dewan Pertimbangan Agung (DPA) hingga tahun 1998. Karier politiknya berakhir bersamaan dengan runtuhnya rezim Orde Baru.
Selama kiprahnya, Sudomo dinilai sebagai tokoh yang sangat kontroversial. Petrus (Pembunuhan Misterius) yang marak dilakukan pada era tahun 80-an dinilai sebagai pelanggaran HAM berat, bahkan Petrus mendapat kecaman dari negara-negara lain.
Gagasan lain yang tidak kalah kontroversi adalah Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDBS), SDBS bertujuan menggalang dana dari masyarakat guna pembinaan olahraga di Indonesia. Agar masyarakat tertarik menyumbang maka diberi hadia uang yang besarnya bervariasi gingga milyaran. SDSB sempat berlangsung beberapa waktu. Keberadaan SDSB diprotes oleh kalangan rohaniwan lantaran dianggap mendidik rakyat untuk berjudi.
Selain itu, Sudomo juga pernah menjadi terduga kasus pemberian Katerbelece (surat pengantar dari pejabat untuk urusan tertentu) untuk Eddy Tansil sehingga Eddy memperoleh kemudahan dalam mendapatkan kredit. Eddy Tansil merupakan bos dari Golden Key Group yang divonis 20 tahun penjara karena menggelapkan uang kredit sekitar 1,3 triliun Rupiah yang diperolehnya dari Bank Bapindo. Namun hingga kini keberadaan Eddy tidak diketahui seolah lenyap ditelan bumi.
Hingga akhir hidupnya, Sudomo tetap membantah keterlibatannya dalam kasus Eddy Tansil. Sudomo wafat dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Reporter: Andhika Ilham Ramadhan