MATA INDONESIA, JAKARTA – Tak ada yang menyangsikan nama besar Leo Tolstoy. Ia salah seorang sastrawan terbesar Rusia abad 19. Diantara sastrawan dunia lainnya, Tolstoy termasuk yang paling unik dan paling menonjol.
Sebagai sastrawan besar Rusia, berkat karya-karya besarnya, Leo Tolstoy dianggap “tiga serangkai” terpenting di Rusia. Ia, bersama Tsar (Kaisar) serta Gereja Ortodoks. Namun dari sekian banyak karakter Tolstoy yang kemudian menjadi legenda karena kehidupannya, ia ternyata mengagumi Agama Islam dan Nabi Muhammad SAW.
Banyak kalangan di Rusia saat itu menyebut Tolstoy seorang muslim. Meski ia tetap beragama Kristen Ortodoks Rusia, namun dari kehidupan dan pola pikirnya, Tolstoy adalah seorang Muslim.
Tolstoy mengagumi sosok Nabi Muhammad SAW yang dianggapnya sebagai juru damai, penegak nilai-nilai kemanusiaan, serta penjunjung tinggi nilai-nilai keilahian. Leo Tolstoy memuji Nabi Muhammad sebagai sosok yang bijak serta patut menjadi contoh terbaik bagi umat manusia, karena memerintahkan pencarian ilmu tanpa henti, penyucian jiwa, serta kekuatan ikhtiar fisik untuk menunjang perjuangan batin melalui doa kepada Allah.
Kalangan Elite
Tolstoy lahir di wilayah Yasnaya Polyana, sebelah selatan Moskow, 9 September 1828. Ia lahir dari keluarga aristokrat Rusia dan merupakan satu dari lima bersaudara.
Kedua orang tuanya meninggal sebelum dia berusia sepuluh tahun. Kerabat yang membesarkannya kemudian mendidiknya di rumah. Leo Tolstoy sempat belajar di Universitas Kazan, meskipun akhirnya ia memilih drop out. Ia kemudian menjadi tentara dan ikut bertempur memadamkan pemberontakan di beberapa wilayah di Rusia.
Ia turut terlibat dalam Perang Krimea. Pengalaman itu menginspirasi novel Sebastopol (1855), The Cossack (1861), dan “The Raid”, sebuah cerita pendek yang terbit pada tahun 1852.
Setelah dinas militer, Leo Tolstoy bepergian keliling Eropa. Pada tahun 1862, saat ia berusia 34 tahun, Tolstoy menikah dengan Sonya Andreyevna Bers, gadis cantik dari kalangan elite Moskow. Namun dia memilih hidup di perdesaan, mengelola tanah pertanian, serta memberi pendidikan gratis bagi anak-anak penduduk setempat. Pada masa inilah dia menulis roman besar yang amat spektakuler “Perang serta Damai” (tahun 1863), kemudian “Anna Karenina” (tahun 1873), serta “Sonata Kreutzer” (tahun 1878).
Belakangan, karena merasa tidak bahagia dengan kehidupannya, dia menulis buku “Sebuah Pengakuan”. Buku ini adalah paparan sikap dirinya yang mengecam segala bentuk kesenangan dunia. Dia juga menulis cerita pendek serta artikel-artikel bercorak keagamaan. Hingga pada suatu hari, Leo Tolstoy meninggalkan rumah, tanpa pamit kepada istri serta anak-anaknya. Beberapa hari kemudian, 7 November 1910, Dia jatuh sakit serta meninggal dunia di sebuah stasiun kereta api.
Kematian Tolstoy menggemparkan Rusia. Banyak kalangan memperkirakan, kematian Leo Tolstoy akibat kekecewaan. Istrinya tidak setuju dengan keinginan Tolstoy untuk menghibahkan semua kekayaannya kepada kaum miskin. Juga usahanya menerbitkan buku-buku tipis secara gratis agar semua kalangan masyarakat kelas bawah dapat menikmati sastra, tidak mendapat dukungan dari siapa pun.
Belajar Sufi
Guncangan jiwa Tolstoy yang berasal dari kalangan elite Rusia berasal saat dia menjadi tentara Rusia. Ketika itu, pasukan Rusia berhadapan dengan rakyat Dagestan serta Checenia (Chechnya) yang mayoritas penduduknya bergama Islam.
Saat itu rakyat Dagestan serta Checenia dipimpin oleh Imam Syamil, tokoh sufi aliran Naqsabandiyah. Untuk menangkap Imam Syamil Rusia menggunakan taktik licik: perundingan serta penyergapan. Setelah tertangkap, Imam Syamil pindah ke Saudi Arabia, hingga wafat pada tanggal 4 Februari 1871 di Madinah.
Sejak peperangan itu, Leo Tolstoy jadi sering berinteraksi dengan umat Islam. Corak Islam di pelosok Rusia serta Asia Tengah, semasa Leo Tolstoy hidup, cenderung sufistik. Banyak aliran tarekat sufi lahir di sana. Antara lain Naqsabandiyah di Kaukasus Utara. Leo Tolstoy yang punya pengalaman langsung menyaksikan penindasan umat Islam oleh pemerintah Rusia di Kaukasus, juga punya pengalaman langsung dengan kehidupan umat Islam serta para “darwis”. Kemungkinan ia terpengaruh. Walaupun ia menganut ajaran Gereja Ortodoks Rusia, namun Tolstoy lebih mengagumi Islam. Bahkan ketertarikan Tolstoy dengan sufisitik membuat ia lebih mengutamakan mistik-spiritual.
Muhammad Azzat Ismail ath Thahthawi, dalam bukunya “At Tabsyir wal Istisyraq Ahqad wa Hamlat” (1974), hlm. 59-62, menceritakan Leo Tolstoy tersentuh hatinya tatkala menyaksikan perlakuan Rusia terhadap umat Islam. Dia menyatakan, Islam merupakan ajaran yang sempurna. Menyuruh umatnya beribadah untuk kepentingan akhirat serta beramal saleh untuk kepentingan dunia. Melarang umatnya melakukan kerusakan di muka bumi.
“Perang serta Damai”, “Anna Karenina”, serta “Sonata Kreutzer” merupakan potret asli kehidupan masyarakat Rusia abad 19, yang didominasi kekuasaan Tsar serta Gereja Ortodoks. Tapi setelah menulis “Sebuah Pengakuan”, tema serta visi karya-karya Leo Tolstoy menjadi sangat sufistik. Walaupun masih menggunakan setting bernuansa gereja, unsur-unsur sufisme Islam mulai masuk. Bahkan pada beberapa cerpennya, tampak jadi semacam adaptasi dari kisah-kisah sufisme.
Pada cerpen-cerpen lainnya yang terkumpul dalam “Ziarah” tampak sekali kecenderungan sufistik Tolstoy. Banyak tokoh-tokoh berwatak “zuhud” (sederhana) serta “wara” (apik) dalam bicara, makan-minum, serta bertingkah laku.
Nasib tragis Leo Tolstoy pada akhir hayatnya mungkin akibat konflik batin berkepanjangan. Dia tidak mampu melepaskan diri dari kungkungan lingkungan Gereja Ortodoks serta sistem feodalistik-tirani kekaisaran Rusia. Padahal hasrat serta semangat hidupnya penuh dengan gagasan-gasan sufistik serta mistik Islam yang bebas serta terbuka. Dia sangat mencintai manusia serta kemanusiaan, di tengah kekerasan serdadu Rusia, dengan restu gereja, membunuhi orang-orang Muslim Kaukasus Utara.
Reporter : Nabila Kuntum Khaira Umma