Kontroversi Serangan Umum, antara Sultan Hamengku Buwono IX dan Suharto

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Salah satu sejarah Sultan Hamengku Buwono yang sering disebut “dibengkokkan” Suharto saat menjadi presiden adalah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.

Selama Orde Baru berkuasa, film-film bahkan di buku-buku sejarah menggambarkan peristiwa itu dirancang dan dilaksanakan sendiri Suharto yang masih berpangkat Letnan Kolonel.

Namun Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengetahui persis bahwa ide Serangan Umum itu berasal dari Ngerso Dalem, Sultan Yogyakarta yang gusar dengan propaganda Belanda awal 1949 bahwa negara Indonesia sudah tidak ada dan Yogyakarta sebagai ibu kota perjuangan diklaim sudah dalam kekuasaan penuh Pemerintah Belanda.

Selain itu dia dikabarkan melihat semangat perjuangan para pemuda serta rakyat menghadapi Belanda semakin lemah.

Tetapi, Ngerso Dalem tidak melawan kenyataan itu dengan retorika panas. Dia justru melawannya dalam diam dengan menerbitkan Buku “Tahta untuk Rakyat” tahun 1982 yang di dalamnya terdapat tulisan Atmakusumah soal kronologi serangan tersebut.

Budayawan Yuwono Sri Suwito atau biasa disapa Romo Yuwono pada sarasehan peringatan 70 tahun Serangan Umum 1 Maret 1949 di Hotel D’Senopati, Yogyakarta, 1 Maret 2019 pernah mengungkapkan bagaimana Suharto dibawa masuk ke Keraton Yogyakarta dan mendapat perintah dari Sultan Hamengku Buwono IX untuk melakukan serangan tersebut.

Menurut Romo, sebelum memanggil Suharto, Sultan Yogyakarta tersebut sudah berkirim surat kepada Panglima Besar Jenderal Sudirman soal rencana serangan itu.

Pak Dirman pun setuju dan meminta Sinuhun Sultan Hamengku Buwono IX menghubungi Komandan Wehrkreise (WK) III Letkol Suharto hingga lelaki yang kelak menjadi presiden terlama Indonesia itu didatangkan ke Keraton pada suatu malam 13 Februari 1949 sekitar pukul 23.00. Wehrkreise adalah sebuah strategi membagi wilayah dengan daerah pertahanan.

Suharto pun tidak datang sendiri melainkan “diselundupkan” oleh Lettu Marsudi komandan Lettu Marsudi, komandan Sub-Wehrkreise (SWK) 101 yang juga merupakan komandan Brigade X-Mataram, ke tempat tinggal GBPH Prabuningrat di Kompleks Keraton Yogyakarta.

Lettu Marsudi adalah bawahan Suharto sebagai perwira intel di dalam kota memang menjadi penghubung dan mengatur pertemuan rahasia tersebut dengan bantuan abdi dalem Hendro Bujono dan Pangeran Prabuningrat.

Saat itu lampu-lampu keraton dimatikan sehingga pertemuan Suharto berbicara empat mata dengan Raja Yogya dalam gelap.

Dalam pertemuan tanpa lampu penerangan itu, sultan meminta Suharto melancarkan serangan umum di siang hari. Penandanya sirine jam 6 pagi.

Saat itu Sultan menekankan kepada Suharto agar serangan itu jangan sampai gagal. Hal itu diingat betul oleh Marsudi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Bersinergi Menjaga Netralitas Pemilu Demi Pilkada yang Berkualitas

Jakarta - Netralitas aparatur sipil negara (ASN) menjadi perhatian utama dalam menjaga kualitas Pilkada Serentak 2024. Badan Pengawas Pemilu...
- Advertisement -

Baca berita yang ini