MATA INDONESIA, LONDON – Dalam sejarah Kerajaan Inggris raya, negara ini pernah berubah statusnya menjadi republik. Perubahan status ini dilakukan oleh hanya satu orang, Oliver Cromwell.
Sosok dan pengaruh Oliver Cromwell di Inggris memang luar biasa. Ia menjadi satu-satunya pemegang jabatan Lord Protector of the Commonwealth of England, Scotland, and Ireland yang bukan anggota keluarga Kerajaan.
Kiprahnya tak pernah jauh dari kontroversi: dibenci habis-habisan oleh kelompok Royalis karena perannya dalam banyak peperangan brutal dan penyebab eksekusi mati Raja Charles I.
Namun harus diakui, Oliver Cromwell adalah pemimpin militer yang brilian dan memikat. Ia berhasil memenangkan perang saudara Inggris. Ia juga adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap terbentuknya demokrasi
parlementer sebagai bentuk pemerintahan Inggris.
Lahir di Huntingdon, Inggris, pada 25 April 1599. Orang tuanya, Robert Cromwell dan Elizabeth Steward berasal dari kelompok bangsawan. Hal inilah yang membuat karier Oliver Cromwell terbuka. Pada usia 29 tahun ia sudah menjadi anggota Parlemen untuk Huntingdon. Sayangnya, baru saja terjun ke politik, Raja Charles I membubarkan parlemen pada 1629.
Pembubaran ini mengecewakan Oliver Cromwell. Apalagi, pada Februari 1640, Raja Charles I membentuk kembali Parlemen demi mengamankan dana perang. Parlemen boneka ini hanya berumur kurang dari sebulan (13 April-5 Mei 1640) sebelum akhirnya kembali bubar.
Raja Charles I membentuk Parlemen baru pada November 1940. Oliver Cromwell berhasil masuk parlemen ini. Saat itu pertentangan antara raja dan parlemen semakin meruncing. Dua tahun kemudian pecah perang saudara saat parlemen Raja Charles I lagi-lagi ingin membubarkan parlemen.
Perang Saudara
Perang Saudara Inggris meledak. Inggris terpecah dalam dua faksi: kaum Royalis pendukung Raja Charles I dan kaum Parlemen yang memberontak. Saat itu Oliver Cromwell bergabung dengan militer dan posisinya sebagai kapten kavaleri dalam pasukan Parlemen.
Meski nihil pengalaman militer, Oliver Cromwell ternyata jenius sebagai komandan. Dengan strateginya, dia berperan besar dalam penaklukan wilayah East Anglia. Pangkatnya naik menjadi kolonel. Karena pintar, parlemen pun memberikan tanggung jawab memimpin pasukan regional. Cromwell jadi salah satu komandan terpenting dalam New Model Army yang dibentuk parlemen pada 1645. Dia berhasil membuktikan kapasitasnya dengan meraih kemenangan besar dalam Battle of Naseby yang terjadi pada tahun itu.
Setelah perang kedua (1648-1649) usai, terbentuklah Parlemen dan Oliver Cromwell duduk pula sebagai anggotanya. Kala Parlemen menggulirkan rencana eksekusi Raja Charles I, Cromwell ikut menandatanganinya. Raja Charles I lalu didakwa melakukan pengkhianatan dan dieksekusi pada 30 Januari 1649.
Parlemen kemudian mengeluarkan sebuah pakta bahwa tak akan ada lagi raja yang menjadi penguasa Inggris. Pakta ini menimbulkan krisis konstitusional di seluruh negeri dan wilayah taklukan Kerajaan Inggris di seberang lautan. Lima koloni Inggris di Amerika, menganggap kepemimpinan Kerajaan harus diteruskan oleh Charles II. Melihat keadaan ini, Oliver Cromwell yang saat itu merupakan salah satu perwira tinggi New Model Army ikut bergerak melakukan langkah-langkah penertiban.
Dia memimpin kampanye militer ke Irlandia (1649-1650). Cromwell mendapat dua tugas utama: menundukkan seluruh tanah Irlandia dan mengawasi proses penyitaan tanah untuk dijadikan aset pemerintah Inggris secara resmi.
Pasukan Oliver Cromwell sukses besar. Apalagi caranya brutal. Di Drogheda, sebuah daerah di sebelah Utara kota Dublin, pasukan Cromwell membunuh para pemimpin Katolik Irlandia. Di Kota Wexford pasukannya lagi-lagi melakukan pembantaian. Menjelang akhir invasi, Cromwell berhasil menganeksasi 40 persen tanah milik golongan Katolik Irlandia.
Battle of Dunbar
Setahun kemudian, Cromwell memimpin invasi ke Skotlandia. Pada Juni 1650 dia membawa pasukannya bergerak menuju Kota Edinburgh. Seorang perwira militer Skotlandia bernama David Leslie mengambil langkah taktis. Dia mengerahkan seluruh laki-laki yang sehat jasmani ke Edinburgh untuk menambah kekuatan pasukan dan membantu membentuk benteng pertahanan.
Akhirnya, Leslie berhasil mengumpulkan 23.000 pasukan untuk melawan pasukan Cromwell yang terdiri dari 11.000 infanteri dan kavaleri. Pengerahan ini sempat membuat Cromwell bingung karena di wilayah yang dilewatinya dia hanya melihat perempuan, anak-anak, dan orang tua.
Pasukan Cromwell pada akhirnya tak sanggup berperang dengan maksimal karena kalah jumlah. Keadaan cuaca yang memburuk juga menjadi penghalang. Pasukan Leslie berhasil memukul mundur armada Cromwell di perbukitan Doon. Pasukan Cromwell pun sempat kocar-kacir hingga ke Dunbar. Beberapa komandan perangnya pun sampai menyarankan segera melarikan diri lewat jalur laut selagi masih sempat. Peristiwa ini kemudian terkenal dengan sebutan Battle of Dunbar.
Leslie membawa pasukannya turun gunung untuk menyerang Cromwell. Tapi, Leslie tak menduga bahwa serangan itu malah membuka celah kelemahan pasukannya. Posisi pasukan yang bertumpuk di perbukitan curam membuat mereka tak leluasa bergerak. Pasukan yang kehilangan fleksibilitas itu makin lemah karena minim pengalaman. Cromwell melihat itu sebagai kesempatan. Ia melancarkan serangan dadakan pada dini hari 3 September 1650. Tidak sampai satu jam, 100 tentara Inggris terbunuh, tetapi kubu Skotlandia kehilangan 3.000 prajurit. Usai penyerbuan, pasukan Cromwell menangkap, menahan dan membunuh 10.000 pejuang Skotlandia.
Setelah kekalahan itu, semua lembaga dan struktur pemerintahan lama Skotlandia bubar. Cromwell membentuk satuan administrasi baru di bawah bendera Inggris di Dalkeith—sebuah wilayah dekat Edinburgh. Cromwell menunjuk salah satu komandannya Letnan George Monck sebagai penanggung jawab wilayah ini. Di tahun berikutnya, seluruh wilayah Skotlandia berhasil ditaklukkan.
Setelah Perang Sipil Inggris berakhir pada 1651, pada 16 Desember 1653 Parlemen memberikan gelar Cromwell menjadi Lord General of the Parliamentarian Army. Kekuatan politiknya menjadi sangat kuat. Tak lama dia membubarkan paksa Parlemen pada 1653. Sebagai gantinya, Cromwell dan para petinggi militer Inggris membentuk Parlemen Barebones. Kini, dia bertindak tak ubahnya Raja Charles I yang dulu ikut dia gulingkan.
Kisruh Politik
Tentu saja, yang terjadi selanjutnya adalah kisruh politik. Tindakannya tak hanya menimbulkan antipati di kalangan Royalis, tapi juga di dalam kubu Parlemen. Ketidakharmonisan itu pada akhirnya membuat Cromwell gagal melakukan kerja penting.
Faktor lain yang membuat beberapa kalangan tidak menyukai dia adalah idenya soal toleransi antar agama yang pada masa itu sebagai sesuatu tak masuk akal. Pada 12 September 1653, kelompok militer yang jengah dengan Cromwell mengambil sikap berontak. Di bawah pimpinan Jenderal John Lambert, mereka mengajukan proposal tentang bentuk parlemen baru yang yang lebih baik. Proposal itu juga mengusulkan penunjukan Cromwell sebagai Lord Protector yang bertugas “membimbing” pemerintahan.
Cromwell setuju dan pada 16 Desember 1653 ia mendapat gelar sebagai Lord Protector of the Commonwealth of England, Scotland, and Ireland. Dia menduduki jabatan itu hingga meninggal pada 3 September 1658.
Kontroversi mengenai Oliver Cromwell berlanjut hingga jauh setelah kematiannya. Rakyat Inggris banyak memuja Cromwell. PM Inggris Winston Churchill pernah dua kali berusaha mengabadikan namanya sebagai sebagai nama kapal tempur Kerajaan Inggris. Tapi, Raja George V menolak ide itu dengan alasan Cromwell adalah penyebab kerusuhan di Irlandia.
Reporter : Nabila Kuntum Khaira Ummi