MATA INDONESIA, JAKARTA – Para pecinta sastra pasti tahu kalau Indonesia memiliki banyak sastrawan terkenal, salah satunya Willibrodus Surendra Broto Rendra.
Lelaki kelahiran 7 November 1935 di Solo dikenal dengan Si Burung Merak.
Darah seninya ternyata diturunkan dari ibunya Ayu Catharina Ismadillah yang menjadi penari Serimpi di Keraton Surakarta. Sedangkan ayah dari lelaki yang lebih sering dipanggil WS Rendra itu adalah seorang guru sekolah katolik bernama R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo.
Di umur 24, saat kuliah di UGM, Rendra menikahi Sunarti Suwandi. Dari cinta pertamanya tersebut, dia mendapat lima anak. Mereka adalah Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Clara Sinta.
Untuk mengurusi lima anaknya, Rendra sering meminta tolong kepada salah satu muridnya di Bengkel Teater yang dia dirikan sepulang dari menuntut ilmu teater di American Academy of Dramatical Art pada 1967.
Murid perempuan dari kalangan ningrat itu bernama Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, atau biasa dipanggil Jeng Sito.
Ternyata Rendra dan Sito terjalin cinta hingga akhirnya mereka menikah dengan pertentangan kuat dari ayah Sito yang tidak rela anaknya dinikahi seorang pemuda Katolik.
Tetapi, Rendra menilai hal itu bukan masalah besar. Maka dia memilih pindah agama menjadi islam pada hari pernikahannya dengan Sito, 12 Agustus 1970. Saksinya Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.
Pernikahan secara Islam itu menimbulkan berbagai komentar buruk antara lain, “Rendra masuk Islam hanya untuk berpoligami.”
Walaupun begitu, Rendra tetap melanjutkan hidupnya bahkan memperoleh empat anak dari Jeng Sito masing-masing bernama Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati.
Bengkel Teater yang didirikannya kembali membuatnya jatuh cinta kepada sang murid, Ken Zuraida. Perempuan kelahiran Salatiga yang bergabung di sanggar itu pada 1974 itu diperistrinya dan memberikan dua anak Isaias Sadewa dan Maryam Supraba.
Namun, kelahiran Maryam Supraba membawa perubahan dalam hidup Rendra karena Sitoresmi dan Sunarti minta dicerai pada 1979.
Reporter: Tashyarani Edi Putri