MATA INDONESIA, JAKARTA – Peristiwa 30 September 1965 menjadi kisah yang berdampak panjang bagi warga Tionghoa di Indonesia, baik bagi mereka yang mengalaminya maupun keturunan mereka.
Dr. Soe Tjen Marching ialah seseorang yang berasal dari keturunan Tionghoa Jawa. Lebih jelasnya, ia merupakan peneliti dan pengajar di University of London. Ayahnya menjadi tahanan karena ia adalah pengurus Partai Komunis Indonesia di Surabaya.
Saat kecil, Soe Tjen tidak mengetahui kisah lengkap perihal ayahnya menjadi tahanan politik. Itu dikarenakan saat lahir, ayahnya berhasil keluar dari penjara. Begitu kuatnya stigma yang ada, sehingga Soe Tjen sempat percaya bahwa ayahnya seseorang yang jahat.
Soe Tjen mengatakan, ”Papa saya tapol, mendapat siksaan habis-habisan. Papa saya bebas begitu saja setelah 3 tahun, tapi ya sempat mendapat siksaan sampai mental dan fisiknya hancur. Penyiksaannya dari 65, yang sadis-sadisnya sampai 67-68.”
Ketika ia melakukan riset untuk penelitian mengenai peristiwa 1965, ia menemukan banyak korban dan keluarga korban yang masih trauma. Soe Tjen menjelaskan bahwa stigma tentang korban 1965 masih begitu kuat, sehingga banyak orang takut bicara.
“Etnis Tionghoa pun tertutupnya bukan main. Pada saya sendiri mereka tertutup, padahal saya etnis Tionghoa juga, tapi mereka nggak mau cerita,” kata Soe Tjen.
Ada beberapa orang yang bersedia bercerita. Tapi ada syaratnya. Tak boleh menyebarkannya ke orang lain. Mereka memperbolehkan itu terbit tetapi hanya beberapa bagian saja.
Ia menulis novel tentang pemerkosaan massal di tahun 1965. Karena menurutnya, kebanyakan orang-orang ingat pemerkosaan pada Mei 1998, padahal dari tahun 1965 itu sudah ada tetapi jarang ada ceritanya.
Soe Tjen menuliskan cerita-cerita itu melalui karakter fiksi dan sesuai pada kejadian yang ada. Judul bukunya adalah “Dari Dalam Kubur.” Ia juga menyebut, etnis Tionghoa menjadi korban propaganda militer.
Di masa orde baru, ada peraturan yang melarang mereka menggunakan bahasa Mandarin, dan melarang mereka menggunakan nama Cina mereka. Menurut buku Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia, Frans Winarta menghitung setidaknya ada 64 aturan orde baru yang mendiskriminasi etnis Tionghoa.
Saat Gus Dur menjabat sebagai presiden, ia mencabut aturan-aturan tersebut. Tapi banyak generasi muda etnis Tionghoa yang masih enggan melepas identitasnya.
Perlakuan Rasis
Oei Hiem Hwie adalah wartawan keturunan Tionghoa yang menjadi tahanan politik pada tahun 1965. Dia terlibat pada Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Militer kemudian menangkap dan menahannya.
Padahal Baperki merupakan organisasi massa yang tujuannya menentang diskriminasi berdasarkan keturunan orang. Sebab itu, Hwie tertarik untuk bergabung sampai menjadi sekretaris Baperki Malang.
Organisasi ini awalnya bernama Baperwatt atau Badan Permusyawaratan Warga Negara Keturunan Tionghoa. Namun, nama ini membatasi keanggotaan hanya pada golongan Tionghoa saja. Maka Baperwatt berubah nama menjadi Baperki yang anggotanya bukan hanya Tionghoa.
Dilansir dari BBC, Oei Hiem Hwie mengatakan, “Banyak yang menilai Baperki underbow PKI, padahal bukan. Akibatnya banyak orang Baperki menjadi tahanan di Pulau Buru.”
Akibat peristiwa 1965, Baperki ditutup, para pendiri dan anggotanya banyak dikirim ke penjara. Universitas Res Publika pun turut menjadi korban penyerangan. Hwie dipenjara selama 13 tahun tanpa pengadilan. Ia menjalani tahanan di Pulau Buru.
Karena ayahnya merupakan warga negara Cina, dan Hwie lahir di Indonesia, ia mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Hingga muncul aturan baru pada tahun 50-an, bahwa warga keturunan Tionghoa harus memilih untuk menjadi WNI atau warga negara Tiongkok.
Hwie memutuskan untuk menjadi warga negara Indonesia. Ia menceritakan selama ia masa penahanan, ia sering mendapat perlakuan rasis. Ia juga harus mengubah nama Tionghoa menjadi nama Indonesia, tetapi ia enggan. Setelah 1965, diskriminasi pada keturunan Tionghoa lebih buruk lagi.
Dampak
Dr. Evi Lina Sutrisno, peneliti dan pengajar di Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM menjelaskan bahwa warga keturunan Tionghoa sejatinya bukan sasaran utama pada tahun 1965.
Evi mengutip tulisan sejarawan Robert Cribb dan Charles Coppel yang memperkirakan ada sekitar dua ribu warga keturunan Tionghoa yang menjadi korban pembantaian massal di tahun 1965.
Jumlah ini tidak terlalu padat dibandingkan dengan mereka yang teridentifikasi atau dituduh Komunis, “Di Makassar tercatat pemerkosaan dan penganiayaan kepada Tionghoa. Bukan pemerkosaan massal seperti Mei 98, tapi terjadi di beberapa tempat, ada yang menyerang dan ada yang memperkosa,” kata Evi.
Kemudian, Evi menjelaskan bahwa setelah tahun 1954, terbit berbagai aturan yang memberangus warga Tionghoa termasuk instruksi presiden tahun 1967. Pemberangusan ini berdampak pada agama Konghucu dan para pengikutnya.
Pada tahun 1978, Presiden Soeharto mengumumkan melalui sidang kabinet bahwa Konghucu bukan agama dan dianggap aliran kepercayaan di bawah Buddha. Lalu di tahun 1982, SKB tiga menteri mendorong agar Kelenteng berubah menjadi Wihara atau tempat ibadah Tri Dharma di bawah Buddha.
Dengan kondisi ini membuat banyak orang Tionghoa merasa tidak aman memegang identitas Konghucu. Evi sendiri merupakan generasi ketiga keturunan Tionghoa. Kakeknya merantau ke Indonesia dari Guangzhou, Cina pada 1936.
Meski pada era reformasi aturan-aturan hak warga keturunan Tionghoa sudah dikembalikan, tetap saja stigma itu melekat.
Generasi Muda
Evi berharap kepada golongan Tionghoa untuk terus membuka ruang perjumpaan dalam bertemu dan menjalin relasi dengan yang berbeda etnis atau agama. Ada salah satu pemuda keturunan Tionghoa bernama Kevin, ia berinisiatif membuka ruang itu.
Kevin mengatakan, banyak orang tua yang menjadi korban berpesan kepada anaknya agar tidak macam-macam dengan politik. Itu sebenarnya adalah sebuah ketakutan.
Meski demikian, mahasiswa University of Western Australia yakin masih banyak orang yang peduli dengan masyarakat Tionghoa Indonesia.
Reporter: Annisaa Rahmah