Kekerasan Militer Belanda yang Sebenarnya Terjadi di Perang Kemerdekaan Indonesia

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Selama Agresi Militer Belanda tahun 1945-1949, terjadi kekerasan militer Belanda terhadap warga Indonesia. Selain itu, terungkap pula aksi kekerasan laskar pejuang Indonesia atas warga sipil yang pro Belanda.

Misalnya saat Militer Belanda melancarkan aksi ‘Operasi Lumpur’ pada 5 Januari 1949 dengan menggunakan pesawat dakota. Pesawat tersebut membawa 180 pasukan khusus Belanda yang kemudian terjun ke rawa-rawa pinggiran kota Rengat, Sumatera Tengah di pagi hari.

Serdadu terntara Belanda hendak mengambilalih komplek pertambangan minyak di daerah tersebut. Mereka menjatuhkan bom menggunakan pesawat tempur ‘cocor merah’ P-15 Mustang. Akibat insiden pengeboman tersebut, sejumlah warga menjadi korban.

Pasukan Payung Korps Pasukan Khusus Belanda yang mayoritas warga Indonesia (BUKU 'AGRESI MILITER BELANDA'/PIERRE HEIJBOER)
Pasukan Payung Korps Pasukan Khusus Belanda yang mayoritas warga Indonesia (BUKU ‘AGRESI MILITER BELANDA’/PIERRE HEIJBOER)

Dalam laporannya BBC menceritakan kesaksian salah satu anak dari saksi mata kejadian, Panca Setyo Prihati. Ia menceritakan tentara Belanda membunuh warga sipil. Mereka menembak setiap orang salah satunya adalah bupati Indragiri tanpa menanyakan atau menginterogasi sama sekali.

Sebagian korban mati dan jenazahnya dibuang ke sungai. Hal ini membuat sungai penuh dengan bangkai manusia. Kabarnya, sejak kejadian itu warga di sekitar sungai tidak mau makan ikan.

Ayah Panca, Wasmad Rads, adalah anggota dari laskar pejuang Indonesia. Ketika serangan itu terjadi, ia berhasil bersembunyi di gorong-gorong. Menurut Wasma, setidaknya 1.500 orang mati tertembak. Sebagian besar adalah rakyat yang tidak bersalah.

Untuk mengenang kejadian berdarah itu, pemerintah daerah membangun  sebuah tugu yang tertulis nama-nama para korban tembak. Namun, ternyata masih banyak nama korban yang tidak tercatat karena mayatnya hilang. Sampai sekarang ada keluarga korban yang mengaku bahwa nama ayahnya tidak tercantum di sana.

Tindakan brutal militer Belanda  72 tahun lalu membuat seorang jurnalis asal Belanda bernama Anne-Lot Hoek datang ke kota Rengat dan mewawancarai beberapa saksi mata kejadian berdarah tersebut. Termasuk anak-anak dari bupati Indragiri yang mati tertembak.

Dari data yang Anne peroleh, ada sedikit perbedaan data. Ia mendatangi Arsip Nasional di Den Haag dan menemukan dokumen bahwa pemerintah Belanda menyelidiki secara internal peristiwa di Rengat tidak lama setelah kejadian itu.

Eksekusi orang Indonesia oleh Belanda (AFP)
Eksekusi orang Indonesia oleh Belanda (AFP)

Ada perbedaan jumlah korban antara keterangan Panca dan angka yang tertera di tugu. Menurut rujukan resmi pemerintah Belanda, terdapat 120 orang meninggal akibat ‘insiden’ dan ‘situasi yang lepas kendali’. Sekitar 84 korban penembakan. Mereka tidak bersenjata. Sedangkan 36 lainnya orang bersenjata. Dalam daftar, ada nama bupati Indragiri.

Anne juga mengungkap ada seorang warga sipil yang terbunuh dan anaknya yang berusia 24 tahun kemudian mengalami pemerkosaan oleh tentara Belanda. Selain itu, hasil wawancara mengungkap bahwa terjadi penjarahan di sebuah rumah. Seorang anak perempuan berusia 16 tahun yang sedang hamil terpaksa menjadi saksi melihat keluarganya terbunuh. Tak hanya itu, militer Belanda melakukan kekejaman dengan membunuh seorang perempuan bersama bayinya, serta ayah dan ketiga puteranya.

Anne juga mendapat kesaksian dari seorang perwira Belanda yang mengatakan bahwa ada sekitar 100 orang yang bersembunyi di dalam gua mengalami pembantaian dan pembunuhan yang cukup kejam. Padahal sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak.

Selain jurnalis, Anne juga adalah seorang peneliti sejarah. Menurutnya, penyelidikan kejadian di Rengat itu tidak jelas. Pemerintah Belanda belum menanggapi peristiwa tersebut dengan serius. Menurutnya, cara pandang masyarakat Belanda terhadap kejadian agresi militer 1945-mewajarkan kekerasan ektrem pada periode itu. Belanda memilih diam bahkan hingga tahun 1960-an meskipun laporan peristiwa keji tersebut telah beredar di masyarakat.

Menurut sebuah studi pada 2017, bahan ajar di sekolah-sekolah Belanda bahkan tidak membahas mengenai kekerasan militer Belanda di masa Perang Kemerdekaan Indonesia. Barulah setelah kesaksian dari Joop Huenting tentang ekses-ekses kekerasan pada 1969, mulai muncul berbagai studi untuk menyikapi kekerasan ekstrem militer Belanda.

Peristiwa Bali

Selain di Rengat, Anne juga meneliti tempat lain, yaitu kekerasan di Bali yang terjadi selama 1946-1949. Ia mengungkap bahwa tentara Belanda melakukan penyiksaan yang kejam kepada tawanannya. Hal itu ada di dalam bukunya, The Battle for Bali, Imperialism, Resistance, and Independence 1856-1950. Ia mewawancarai 120 saksi di Bali dan daerah lain di Indonesia. Menurut hasil wawancara, tahanan tentara Belanda juga seringkali tewas terbunuh karena eksekusi hukuman mati.

Belanda datang ke Bali pada awal Maret 1946 dan tentu saja kedatangannya mendapat perlawanan laskar pro Republik. Terjadi beberapa pertempuan kecil. Namun puncaknya terjadi di Desa Marga, Tabanan, pada 20 November 1946. Pimpinan Pasukan Diivisi Sunda Kecil, Kolonel I Gusti Ngurah Rai, mengawali serangan ke tangsi Belanda di Desa Penebel pada 18 November 1946.

Serangan tersebut dibalas Belanda dengan mengepung pasukan  Rai di Desa Marga, tepatnya dua hari setelah serangan pertama. Korban tercatat adalah 96 pejuang meninggal, tapi kenyataanya korban sampai 200 orang. Mayat-mayat para pejuang Bali diletakkan di alun-alun desa oleh tentara Belanda untuk menakut-takuti warga desa.

Anne melakukan penelitian lain bersama sejarawan Belanda lain dan juga melibatkan sejarawan Indonesia serta negara lain. Penelitian tersebut dibiayai pemerintah Belanda sejak tahun 2016. Menurutnya, kekerasan pada periode 1945-1949 itu kurang terhubung.

Kekerasan Tentara Indonesia

Seorang sejarawan UGM, Abdul Wahid, tidak memungkiri adanya fakta kekerasan para pejuang Indonesia. Menurutnya, kekerasan adalah bagian dari revolusi dan menjadi realita. Bisa jadi kejadian tersebut adalah bentuk perlawanan mengusir penjajah.

Ungkapan tersebut juga datang dari peneliti di Universitas Amsterdam, Rika Rheo. Ia mengatakan kekerasan pejuang Indonesia di masa perebutan kemerdekaan juga atas dasar kehadiran kolonialisme Belanda yang mereka alami.

Menurutnya pihak Indonesia tidak homogen dalam menyikapi kedatangan kembalinya Belanda. Catatan FNI (Federatie Indische-Nederlands) mengungkapkan dalam periode 1945-1949, ribuan orang Belanda mengalami siksaan, pemerkosaan dan pembunuhan. Mereka juga memperkirakan sekitar 30.000 orang meninggal dan 15 lainnya hilang.

Kisah Penyelamatan Warga Maluku

Pada tahun 1947, warga Maluku juga mendapat amukan dari massa yang anti-Belanda. Hal ini terjadi karena ada tudingan yang mengatakan bahwa mereka menjadi kolaborator Belanda.

Jopie Taihuttu bercerita, dahulu ayahnya mengatakan bahwa ada orang Ambon yang terbunuh dan mayatnya dibuang ke sumur. Orang-orang Ambon yang pro-KNIL akan diburu dan dibunuh. Hal ini membuat orang-orang Maluku pindah dan mengungsi ke beberapa daerah di Jakarta.

"<yoastmark

Orang Indis, atau ‘orang Indo’ yang bermigrasi ke Belanda menganggap bahwa penelitian sejarah lebih menyoroti kekerasan Belanda dan tidak memperlihatkan kekejaman dari pihak Indonesia. Mereka khawatir kutukan moralnya malah akan semakin kuat.

Sebaliknya, veteran Goos Blok mengaku senang dengan penelitian ini. Dia mengaku kekerasan saat itu adalah fenomena struktural. Menurutnya, damai berawal dengan keadilan dan pengakuan bersalah.

BBC/Reporter: Dinda Nurshinta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Wabup Sleman : Ini Komitmen Kita Untuk Membersamai Seluruh Umat Beragama

Mata Indonesia, Sleman - Wakil Bupati Sleman, Danang Maharsa menghadiri kegiatan Doa Syukur Umat Hindu dalam rangka menyambut Hari Jadi ke-108 Kabupaten Sleman yang bertempat di Pura Widya Dharma, Dero, Wedomartani, Ngemplak pada Minggu (12/5).
- Advertisement -

Baca berita yang ini