Kahlil Gibran, Pujangga Cinta yang Tak Pernah Menikah

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – 137 tahun yang lalu, tepat 6 Januari 1883 lahir seorang sastrawan dan penyair tersohor, Kahlil Gibran. Berbagai karya yang mendunia telah dihasilkan sepanjang hidupnya, seperti seperti Sayap-Sayap Patah, Sang Nabi, Rahasia Hati, dan Jiwa-Jiwa Pemberontak.

Gibran menciptakan banyak karya tentang cinta dan hati. Syairnya mengalir merdu membangkitkan perasaan dan kegundahan. Tapi, hal itu tidak mengantarkannya mendapatkan pasangan, ia tak pernah menikah.

Meski dilahirkan di Lebanon, namun Gibran dibesarkan di Amerika Serikat (AS). Ia ikut bersama imigran lainnya karena kemiskinan yang dialami keluarganya.

Pada usia 13 tahun ia kembali ke Beirut dan belajar madrasah dari tahun 1983 hingga 1901. Dalam masa mudanya, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk.

Tirani kerajaan Ottoman, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.

Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902, saat itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, ‘Spirits Rebellious’  ditulis di Boston dan diterbitkan di New York, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang meyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronite.

Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New York. Di sana Gibran bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis.

Sebuah karya buku berjulud ‘Broken Wings’ diterbitkan dalam bahasa Arab pada 1912. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan keponakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskup oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai otobiografinya.

Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun-tahun berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan penguasaan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di Lebanon, ia menjadi seorang pengamat dari kalangan nonpemerintah bagi masyarakat Suriah yang tinggal di AS.

Saat itu juga, Gibran meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, ‘The Madman’, ‘His Parables and Poems’. Buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah ‘Twenty Drawing’, 1919; ‘The Forerunne’, 1920; dan ‘Sang Nabi’ pada tahun 1923.

Gibran sempat memiliki hubungan dekat dengan Mary Haskell yang juga merupakan kepala sekolah tempatnya belajar. Namun, hubungan itu tidak bertahan lama, Mary menerima lamaran Florance Minis, seorang pengusaha kaya dari Georgia.

Di puncak karirnya, Gibran tidak lagi bisa menahan sirosis hati dan TBC yang sudah lama menggerogoti tubuhnya. Berkali-kali ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Kemudian pada 10 April 1931 pukul 11.00 malam ia meninggal di St. Vincent’s Hospital di Greenwich Village.

Jenazah Gibran kemudian dikebumikan di Ma Sarkis, sebuah biara Carmelite tempat ia pernah melakukan ibadah. Sepeninggalnya, Barbara Young yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah peninggalan Gibran menemukan secarik kertas yang bertuliskan, “di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku.” (Maropindra Bagas/R)

 

Berita Terbaru

Pilkada Serentak Diharapkan Jadi Pendorong Inovasi dalam Pemerintahan

Jakarta - Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 27 November 2024, diharapkan dapat mendorong inovasi serta memperkuat sinkronisasi...
- Advertisement -

Baca berita yang ini