MATA INDONESIA, JAKARTA – Jasa dan kecintaan seorang Sultan Hamengku Buwono IX terhadap Republik ini sudah pasti tidak ternilai karena berulang kali menjadi penyelamat dari kebangkrutan bahkan sampai Yogyakarta tidak memiliki apa-apa lagi setelah menyumbangkan 6 juta gulden sekira Rp 400 miliar, 17 Desember 1949.
Peristiwa penyelamatan yang pertama adalah saat Belanda menduduki Jakarta saat membonceng sekutu AS masuk Indonesia karena memenangkan perang terhadap Jepang.
Dengan cepat Belanda berhasil menduduki Jakarta 29 September 1945. Tanggal 2 Januari 1946 Sultan mengirimkan kurir ke Jakarta dan menyarankan ibu kota dipindah ke Yogyakarta. Tawaran itu diterima dengan baik oleh Sukarno dan dua hari kemudian Ibu Kota Indoneia resmi dijalankan di Yogyakarta.
Selama beribukota di Yogyakarta, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat membiayai operasional pemerintahan tersebut termasuk membayar gaji pegawainya.
Namun, perannya lebih besar dari itu, ketika Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia dan ibu kota akan dipindahkan lagi ke Jakarta 17 Desember 1949.
Bertempat di Siti Hinggil Kraton Yogyakarta, Sukarno dikukuhkan sebagai Presiden RI. Saat itulah Sultan Hamengku Bowon IX menyerahkan yang 6 juta gulden untuk menjalankan pemerintahan Indonesia kepada Sukarno.
“Yogyakarta sudah tidak punya apa-apa lagi. Silakan lanjutkan pemerintahan ini di Jakarta,” kata Sri Sultan saat itu kepada Soekarno sembari menyerahkan selembar cek Jumat 2 Oktober 2020.
Air mata Sri Sultan pun berurai kala itu. Hadirin yang menyaksikan ikut terhanyut dan Sukarno menangis.
Kala itu memang Yogyakarta sudah tidak punya apa-apa lagi untuk menopang keuangan RI yang pindah ke Yogyakarta. Hampir semua biaya operasional untuk menjalankan roda pemerintahan, misalnya kesehatan, pendidikan, militer, dan pegawai-pegawai RI, saat itu dibiayai Keraton Kasultanan Yogyakarta.
Maka tak salah bila ada yang hingga kini menyebut bila Republik ini masih berhutang kepada Sultan sebesar 6 juta Gulden.