Inilah Tokoh Pengagas dan Pendiri Kopassus, Salah Satunya Warga Belanda yang Jadi Mualaf

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Tahun 1950 an, pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia saat itu meresahkan Pemerintahan Indonesia. Mereka melakukan gerilya di sejumlah daerah di Jawa Barat dan cukup menggangu keamanan masyarakat.

AE Kawilarang
AE Kawilarang

Panglima Siliwangi saat itu Kolonel AE Kawilarang ingin ada pasukan yang bisa bergerak cepat untuk meredam dan melumpuhkan pemberontakan ini. Dalam autobiografinya, AE Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih (1989), menulis:

“Untuk melawan gerakan-gerakan gerombolan yang mobil itu, saya perhitungkan, perlu membentuk suatu kesatuan yang terlatih bertempur. Secara kesatuan kecil sampai dengan dua orang saja dan all round. Dan itu harus tercipta. Indonesia harus punya pasukan khusus

Ya, pasukan khusus. Ingatan Kawilarang pun kembali ke tahun 1950 saat ia memadamkan pemberontakan di Maluku oleh kelompok Republik Maluku Selatan (RMS).

Saat itu, pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) merencanakan akan mengerahkan pasukan untuk menumpas kelompok tersebut. Kawilarang saat itu menjadi Panglima Teritorum III. Sedangkan yang menjadi komandannya adalah Letkol Slamet Riyadi.

Letkol Slamet Riyadi, pengagas pasukan khusus
Letkol Slamet Riyadi, pengagas pasukan khusus

Operasi ini berhasil. Kejadian itu membuat Letkol Slamet Riyadi punya keinginan membentuk sebuah satuan pemukul yang bergerak cepat dan tepat. Terutama dalam menghadapi berbagai sasaran di medan tempur.  Sayangnya Slamet Riyadi gugur dalam pertempuran. Namun ide yang sempat dibicarakan dengan Kawilarang tersebut tak hilang begitu saja.

Akhirnya Kawilarang pun mewujudkan pembentukan satuan pemukul tersebut. Ia memulai dari kesatuan yang dipimpinnya dahulu. Kawilarang pun mencari orang yang cocok untuk melatih pasukan itu. Seorang anak buahnya memperkenalkan Kawilarang dengan seorang perwira pasukan khusus Belanda yang menjadi warga negara Indonesia.

Perwira eks KNIL (pasukan Belanda) itu bernama asli Rokus Bernadus Visser. Ia sebelumnya bekerja di Perkebunan Nusantara. Visser lahir pada 1915 sebagai anak petani bunga tulip. Selepas kuliah, awalnya Visser membantu ayahnya berjualan bola lampu di London.

Setelah Jerman menjajah Belanda pada 1940, Visser bergabung dengan militer Belanda yang sedang mengungsi di Inggris. Setahun pertama di dinas militer, Visser menjadi sopir mobil Ratu Wilhelmina yang ikut mengungsi di Inggris juga. Pangkatnya ketika itu sersan.

Selepas menjadi supir sang ratu, Visser masuk Pasukan Belanda ke-2 sebagai pembawa radio. Dia mendapatkan latihan komando di Inggris. Pengalaman tempur penting Visser adalah saat mendarat dengan glider ke Belanda dalam Operasi Market Garden September 1944. Dua bulan setelahnya, Visser bergabung dengan pasukan Sekutu lain dan melakukan operasi pendaratan amfibi di Walcheren, sebuah kawasan pantai di Belanda.

Di tahun 1945, dia mendapat promosi pangkat letnan dan masuk ke Sekolah Pasukan Para di India. Setelah Jepang kalah, Visser masuk ke Indonesia sebagai pasukan khusus Belanda pada Maret 1946. Atas kemampuannya, dia memimpin School voor Opleiding van Parachutisten di Jayapura, yang kala itu disebut Hollandia.

Di tahun 1947 pangkatnya sudah kapten. Visser ternyata betah tinggal di Indonesia. Setelah Belanda menyerah, Visser memilih tinggal di Indonesia dan menceraikan istrinya di Inggris. Visser kemudian tinggal di Pacet, Lembang, sebagai petani bunga. Dia menikahi perempuan Sunda dan memakai “nama Islam”: Mochammad Idjon Janbi.

Idjon Janbi
Idjon Janbi

Kawilarang pun menawarkan Idjon untuk melatih pasukannya. Ia mendapat gelar mayor.

Akhirnya pada 16 April 1952 terbentuklah Kesatuan Komando (Kesko) Divisi Siliwangi. Setelah pasukan Kesko lulus pelatihan, setiap anggotanya memakai badge bertuliskan “Komando” di lengan kirinya.

Pasukan ini kemudian ujicoba pada 1953 untuk menghalau DI/TII di Jawa Barat. Ternyata aksi mereka berhasil. Kawilarang cukup puas dengan aksi pasukan di Gunung Rakutak.

Menurut Kawilarang, semula Idjon hanya dibantu Letnan Hang Haryono dan Sersan Mayor Trisno Yuwono. Keduanya pernah mengikuti Combat Intelligence dan memiliki wing penerjun. Dua pelatih itu terasa kurang seiring berkembangnya pasukan khusus tersebut. Akhirnya, tenaga pelatih ekstra diambil dari Sekolah Kader Infanteri dan Depot Batalyon. Pasukan ini bersalin nama berkali-kali.

Selain menjadi pelatih, Idjon Djanbi pun sempat menjadi komandan. Dia menjabat sampai 1956. Di masa bertugas, Idjon sempat terluka dan digantikan wakilnya, Mayor R.E. Djailani.

Satuan ini sudah beberapa kali berubah nama, di antaranya:

  • Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD) tahun 1953
  • Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) tahun 1952
  • Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) tahun 1955
  • Pusat Pasukan Khusus TNI-AD (Puspasus TNI-AD) tahun 1966
  • Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha) tahun 1971
  • Komando Pasukan Khusus (Kopassus) tahun 1985 hingga sekarang.

Kopassus pun akhirnya menjadi pasukan elite TNI. Rata-rata prajurit Kopassus menguasai taktik dan teknik ilmu perang khusus, mahir dan andal bergerak secara cepat di berbagai medan, baik di darat, laut dan udara.

Selain itu, tanda kualifikasi Brevet Komando melambangkan bahwa prajurit yang memakainya sudah mendapat tempaan pendidikan dan latihan yang keras. Sehingga punya keberanian, kecekatan dan keterampilan sebagai prajurit yang memiliki kemampuan di bidang operasi darat, laut dan udara.

Sekarang pimpinan Kopassus adalah seorang Komandan Jenderal atau Danjen yang berpangkat Mayor Jenderal (Mayjen) TNI.

Reporter : Adinda Catelina Fadjrin

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Perjuangkan Kesejahteraan Buruh dan Petani, Dani Eko Wiyono Siap Maju Calon Bupati Sleman Melalui Jalur Independen

Mata Indonesia, Sleman - Alumni aktivis 98 sekaligus aktivis yang selalu menyuarakan aspirasi buruh/pekerja Daerah Istimewa Yogyakarta, Dani Eko Wiyono ST. MT ini bertekad maju bakal calon bupati Sleman dalam Pilkada Sleman nanti. Dani menilai, hingga saat ini, mayoritas kehidupan buruh masih sangat jauh dari kata sejahtera. Buruh masih dianggap hanya sebagai tulang punggung ekonomi bangsa tanpa diperjuangkan nasib hidupnya.
- Advertisement -

Baca berita yang ini