MATA INDONESIA, JAKARTA – Salah satu penganan khas Imlek adalah kue keranjang, meski bentuknya tidak seperti keranjang.
Sepintas kue itu mirip dengan dodol yang menjadi camilan khas sejumlah daerah di Indonesia.
Ternyata bahan dan cara pembuatannya relatif sama antara lain terdiri dari gula merah dan ketan lalu diaduk-aduk sampai mengental.
Dodol yang di Cina disebut Nian Gao itu dikabarkan sudah dikenal orang-orang di kawasan Nusantara ini ratusan tahun lalu. Sejarah Dinasti Tang sudah mencatat kedatangan orang Cina ke Tanah Jawa pada abad ke-7.
Dipercaya pada awalnya kue itu sebagai hidangan menyenangkan dewa Tungku (Cau Kun Kong) agar membawa laporan yang menyenangkan kepada raja Surga (Giok Hong Siang Te).
Selain itu, bentuknya yang bulat bermakna agar keluarga yang merayakan Imlek tersebut dapat terus bersatu, rukun dan bulat tekad dalam menghadapi tahun yang akan datang.
Jika diamati, kue yang beredar di pasaran pasti berbentuk bundar. Bukan memanjang, kotak, atau pun segitiga.
Bentuk bundar ternyata melambangkan persatuan. Rasa manisnya pun memiliki makna agar siapapun yang memakannya akan selalu berkata yang baik-baik dan manis. Sedangkan teksturnya yang lengket bermakna agar hubungan keluarga makin erat.
Kue ini pun tak boleh disajikan sembarangan. Paling tidak jangan menyajikannya dalam jumlah 4 karena bagi orang Tionghoa, empat atau shi berarti mati. Itu bukan hal baik atau akan bernasib sial.
Lebih baik menyajikannya dalam jumlah ganjil. Kalau pun akan disajikan dalam jumlah genap, paling baik disajikan 6 buah. Hal yang tak boleh dilupakan, kue keranjang disusun menjulang ke atas dengan makna agar segala doa bisa tersampaikan kepada dewa-dewa di atas.
Sebutan kue keranjang populer pertama kali di Jawa Timur. Masyarakat setempat menyebut begitu karena pembuatan Nian Gao di sana selalu dicetak dalam sebuah keranjang kecil.
Sementara daerah lain di Indonesia lebih banyak yang menyebutnya dengan dodol Cina karena dibuat untuk hari raya Cina atau pembuatnya yang keturunan Cina.