MINEWS.ID, JAKARTA – Jika tidak ada William Marbury mungkin saja, Mahkamah Konstitusi tidak pernah ada di Indonesia.
Marbury diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung (Chief of Justice) oleh Presiden John Quincy Adams, menjelang 4 Maret 1801.
Padahal Adams saat itu sudah dinyatakan kalah dari Thomas Jefferson pada pemilihan presiden 1800. Namun menjelang pelantikan Jefferson, 4 Maret 1801, Adams membuat banyak kebijakan promosi pejabat.
Banyak analis politik menyebut kebijakan itu sebagai praktik ‘aji mumpung’ untuk mendudukan teman dekat dan kerabatnya di jabatan tertentu sehingga saat pemerintahan baru berjalan mereka tetap eksis.
William Marbury yang di masa Pemerintahan Adams menjabat Secretary of State atau setara dengan Menteri Sekretaris Negara, jelas mendapat promosi luar biasa dengan menjadi Chief of Justice, sebab kekuasaannya menjadi lebih besar.
Sejumlah pengangkatan teman dekat dan kerabat tersebut terus dilakukan Adams hingga pembuatan suratnya dilakukan menjelang malam pergantian kekuasaan pada 3 Maret 1801. Saat itu, Adams masih sibuk menandatangani beberapa surat keputusan pengangkatan hakim perdamaian dibantu oleh John Marshall.
Surat pengangkatan tersebut sebenarnya hanya masalah administratif belaka, sebab sebelum Marbury dan tiga orang lainnya yaitu Denis Ramsay, Robert Townsend dan William Harper sudah mendapat persetujuan senat. Syarat-syarat lain pun sudah dipenuhinya.
Celakanya, karena ditandatangani dalam waktu yang sempit dan tergesa-gesa, salinan surat pengangkatan tersebut tidak sempat diserahterimakan kepada orang yang dimaksud, karena hari sudah terlanjur berganti.
Setelah Thomas Jefferson dilantik 4 Maret 1801 surat-surat pengangkatan tersebut ditahan oleh Secretary of State yang baru James Madison.
Marbury dan kawan-kawan pun menilai Adams telah bertindak inkonstitusional. Maka melalui kuasa hukumnya, Charles Lee, Marbury mengajukan tuntutan kepada Mahkamah Agung Federal pada Desember 1801 agar mengeluarkan surat perintah (writ of mandamus) agar keputusan pada surat Adams dieksekusi.
Akhirnya kasus yang kemudian dikenal ke seluruh dunia sebagai Marbury versus Madison itu pun tidak berpihak kepada Marbury. Namun, banyak kejanggalan pada putusan tersebut.
Pada pokoknya putusan itu menolak permohonan Marbury, namun pertimbangan hukumnya justru berpihak kepada calon hakim agung tersebut.
Bukan hanya membenarkan dalil (posita) yang diajukan, MA bahkan menyatakan Marbury memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam gugatan tersebut.
Ternyata yang menjadi pokok putusan MA Amerika Serikat yang saat itu diketuai John Marshall, adalah permohonan Marbury untuk meminta MA mengeluarkan writ of mandamus karena dianggap inkonstitusional. Sebelumnya tidak pernah ada putusan pengadilan yang mempermasalahkan konstitusionalitas suatu hal.
Dari putusan itulah kemudian mekanisme judicial review ditemukan dan dikembangkan dalam praktek penegakan konstitusi. Putusan tersebut bahkan dinyatakan sebagai penemuan hukum karena melahirkan sistem hukum yang sama sekali baru di seluruh dunia.
Tujuh tahun berselang Supreme Court yang masih diketuai John Marshall kembali melakukan judicial review dalam kasus yang dikenal dengan sebutan kasus Fletcher versus Peck.
Seiring berjalannya waktu dan kebutuhan yang nyata akan pengujian konstitusionalitas norma hukum, mekanisme judicial review semakin melembaga dan semakin dibutuhkan. Sampai Indonesia merasa perlu membentuk sebuah Mahkamah Konstitusi.