HOS Tjokroaminoto, Pemimpin Seumur Hidup Sarekat Islam

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – HOS Tjokroaminoto atau Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto adalah seorang pribumi yang berpengaruh dan disegani pada masanya.

Ia orang pertama yang menolak tunduk pada Belanda. Tjokroaminoto merupakan pemimpin Sarekat Islam (SI) yang membawa ormas ini menjadi besar pada saat itu.

Awalnya, SI bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) di bawah pimpinan Samanhoedi. SDI ini hanya punya cabang di Solo. Seiring waktu, semakin bertambah jumlah anggotanya dan pengaruh SDI pun meluas. Samanhoedi sadar dirinya kurang bercakap dalam organisasi. Akhirnya Samanhoedi memutuskan untuk menarik Tjokroaminoto ke dalam organisasinya karena Tjokroaminoto memiliki otak yang cemerlang.

Tjokroaminoto tinggal di Surabaya. Ia dipanggil ke Solo untuk merumuskan ulang Anggaran Dana atau Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang sebelumnya dirumuskan oleh Tirto Adhi Soerjo. Saat itu Tjokroaminoto masih bekerja di pabrik gula dan terikat kontrak. SDI pun terpaksa menebus Tjokroaminoto dari Pabrik Gula tempat ia bekerja.

Tjokroaminoto menyarankan untuk mengubah nama organisasi dari Sarekat Dagang Islam (SDI) menjadi Sarekat Islam (SI) karena kata “dagang” sangat membatasi ruang gerak organisasi tersebut. Penghilangan kata “dagang” juga memberikan dampak positif karena dapat mencakup seluruh wilayah dan bukan hanya perdagangan saja, tapi juga mencakup ranah politik.

Dengan rumusan baru dari Tjokroaminoto, SI berkembang di dunia politik dibandingkan menangani urusan jual-beli.

Pada 14 September 1912, AD/ART rumusan selesai disusun dan langsung dikirimkan ke pemerintah di Batavia untuk mendapatkan pengakuan resmi. Akhirnya, Sarekat Dagang Islam (SDI) berganti nama menjadi Sarekat Indonesia (SI).

Berkat kecerdasan otak Tjokroaminoto, SI berkembang pesat dan cabangnya muncul di mana-mana. Cabang pertamanya berada di Kudus pada September 1912. Sepanjang akhir tahun 1912 hingga awal-awal tahun 1913 SI semakin luas. Hampir seluruh Jawa sudah ada cabang SI.

Kesuksesan diraih Tjokroaminoto bersama Samanhoedi karena cabang SI yang sudah dikuasai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk di Yogyakarta ia menggandeng pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan.

Saat itu, Tjokroaminoto memimpin cabang SI di Surabaya. Dalam setiap kunjungannya di berbagai daerah, ia malah mempromosikan dirinya sendiri dan secara perlahan menggusur Samanhoedi. Posisi Tjokroaminoto semakin kuat, pada 25 Maret 1913 ia terpilih sebagai Wakil Ketua Central Sarekat Indonesia (CSI) atau dewan pengurusan pusat untuk mendampingi Samanhoedi dalam kongres pertama di Solo.

Tjokroaminoto semakin giat turun ke bawah dan melakukan propaganda. Padahal, seluruh biaya aktivitas politiknya dibiayai oleh CSI. Reputasi Samanhoedi terus merosot di tataran CSI. Sedangkan di kalangan muda, Samanhoedi dianggap kuno dan tidak layak memimpin SI. Samanhoedi dinilai sudah tidak berguna.

Kongres kedua SI menjadi kemenangan bagi Tjokroaminoto serta mengakhiri jabatan Samanhoedi dan kubu Solo di organisasi tersebut. Samanhoedi saat itu hanya mengisi jabatan sebagai ketua kehormatan tanpa kewenangan.

Kongres yang digelar di Surabaya selama dua hari pada 19-20 April 1914 dihadiri 147 delegasi mewakili 81 cabang dari berbagai daerah yang jumlah anggotanya mencapai 440.000 orang.

Tjokroaminoto juga berhasil menjalin relasi dengan penguasa kolonial hingga sampai ke pemerintah di Batavia melalui D.A Ringkes yang menjadi perantaranya dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Pada kongres saat itu, Ringkes juga turut melengserkan Samanhoedi dan memuji Tjokroaminoto. Ringkes bernarasi dihadapan forum tertinggi SI, Ringkes mengatakan Samanhoedi tidak memenuhi persyaratan sebagai pemimpin yang baik. Samanhoedi juga tidak terdidik, menurut Islam maupun modern, pikirannya sempit dalam segala hal di luar lingkungannya, tidak memiliki kemampuan bercakap, tanpa sopan santun, keras kepala, serta bertindak semaunya.

Ringkes memuji Tjokroaminoto sebagai sosok yang memiliki pemikiran terbuka dan tidak dibatasi oleh pertimbangan agama. Berpendidikan dan berpengetahuan serta memiliki naluri politik yang tajam yang berguna dalam segala hal. Samanhoedi semakin tersudut karena para peserta kongres meminta ia untuk turun dari jabatannya.

Sejak terpilihnya Tjokroaminoto menjadi ketua pada saat kongres kedua itu, posisi Tjokroaminoto sebagai pemimpin tidak dapat tersentuh oleh siapapun. Di bawah perintahnya, SI menjadi ormas terbesar di Indonesia pada masa itu yang memiliki anggota hingga 2,5 juta orang.

Karena adanya konflik internal yang mengakibatkan SI terbelah menjadi dua, yaitu SI Merah dan SI Putih. SI putih, di bawah pimpinan Tjokroaminoto berubah menjadi partai politik dan berganti nama menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) pada 1921. Berubah lagi menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada 1929. Hingga ia wafat pun pada 17 Desember 1934, masih menjabat sebagai ketua PSII.

Tjokroaminoto diberi gelar De Ongekroonde van Java yang berarti Raja Jawa Tanpa Mahkota oleh Belanda, ia juga menjadi guru para pemimpin besar di Indonesia, termasuk Soekarno. Ia dikenang dan ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Soekarno.

Reporter: Laita Nur Azahra

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pilkada Serentak Tinggal Menunggu Hari, Pengamat Politik Ingatkan 12 Kerawanan Ini

Penyelenggaraan Pilkada serentak pada 27 November mendatang mendapat sambutan positif, terutama dalam hal efisiensi biaya dan penyelarasan pembangunan. Menurut Yance...
- Advertisement -

Baca berita yang ini