MATA INDONESIA, NEW YORK – Bukan Harry Potter atau Lord of The Ring yang selama ini dinilai sebagai novel dan film paling populer dan terlaris. Justru Gone with the Wind, cerita roman berlatar belakang perang sipil Amerika Selatan karya Margaret Mitchell, sebagai novel dan film terlaris sepanjang masa.
Sejak pertama kali terbit pada 15 Desember 1936, novel berisi kumpulan syair tersebut telah terjual lebih dari 30 juta eksemplar di seluruh dunia. Dan tak hanya itu, setahun setelah terbit, Mitchell mendapat penghargaan dengan memenangkan hadiah Pulitzer.
Novel ini memang luar biasa, baik dari sisi kisah maupun karakter tokohnya. Bercerita tentang Scarlett O Hara, wanita cantik
yang hidup di saat perang saudara terjadi di Amerika Serikat. Karakter Scarlett dalam novel tersebut sebagai wanita keras kepala, membangkang, dan penuh tipu daya. Namun meski cantik, kisah cinta Scarlett justru bertepuk sebelah tangan. Ia mencintai seorang pria, Ashley Wilkes, yang justru menikahi perempuan lain.
Cerita semakin menarik saat Scarlett bertemu dengan Rhett Butler. Mereka kemudian menikah. Pasang surut hubungan kedua pasangan ini mendominasi keseluruhan novel ini.
Larisnya novel ini kemudian berujung ke layar lebar. Film berdurasi 234 menit ini disambut baik saat rilis. Para kritikus pada masa itu memuji kesetiaan film karya sutradara Victor Fleming ini pada novel aslinya, yang akhirnya berdampak pada durasi film.
Produser David O. Selznick juga memberikan peran ini kepada dua bintang film Hollywood terkenal saat itu Clark Gable dan Vivien Leigh untuk memerankan dua tokoh utamanya. Film tahun 1939 itu meraih kesuksesan yang luar biasa, dan menjadi salah satu film terpopuler sepanjang masa. Film itu juga membawa pulang 11 piala Academy Award
Lalu apakah novel ini ada kelanjutannya? Saat membuat novel ini, Margaret Mitchell ternyata membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan mahakaryanya tersebut. Dengan pengalamannya sebagai reporter dan kisah-kisah yang ia dengarkan ketika masa kanak-kanak, membuat Mitchell memiliki imajinasi. Sekaligus tata bahasa yang baik. Ketika para pembaca memperkirakan Mitchell akan menulis sambungan dari novel pertamanya itu, mereka harus kecewa sekaligus sedih. Sebuah kecelakaan pada tahun 1939 menewaskan Mitchell.
Empat dasawarsa kemudian, lembaga yang menangani warisan Mitchell memberikan hak kepada penulis Alexandra Ripley. Ia menulis kelanjutan Gone with the Wind. Namun sekali lagi, para pembaca harus kecewa karena kualitas tulisan Ripley yang sangat jauh berbeda, bahkan kurang berbobot.