MATA INDONESIA, JAKARTA – Jika kita bicara soal Hari Pahlawan, selalu tak bisa memisahkan dari sosok Soetomo atau Bung Tomo. Namun, sebelum wafat dia sempat mengungkapkan penyelesalannya karena menjadi penggerak massa 10 November 1945 setelah masuk penjara di masa Rezim Soeharto. Dia bahkan baru mendapat gelar Pahlawan usai Reformasi.
Ya, Bung Tomo adalah ‘provokator’ bagi arek-arek Suroboyo menghadang kembalinya Belanda melalui sekutu untuk menguasai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dia bukan tentara. Bung Tomo adalah wartawan yang aktif menulis di beberapa surat kabar dan majalah seperti Harian Soeara Oemoem, Harian berbahasa Jawa Ekspres, Mingguan Pembela Rakyat, dan Majalah Poestaka Timoer.
Bung Tomo bahkan sempat menjabat wakil pemimpin redaksi Kantor Berita pendudukan Jepang Domei, dan pemimpin redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.
Karena pengetahuannya sebagai wartawan yang luas itu lah, Bung Tomo menjadi penggelora semangat juang para pemuda di Surabaya waktu itu. Sehingga, provokasinya itu menggentarkan Sekutu pimpinan Inggris sampai mereka memilih meninggalkan Indonesia. Meski untuk itu puluhan mungkin ratusan nyawa pemuda Surabaya harus melayang.
Namun, perjuangan itu sama sekali tak mendapat penghargaan dari Soeharto saat dia mengambil alih kursi Presiden dari Soekarno. Alasannya sederhana. Bung Tomo begitu kritis kepada Soeharto sejak awal.
Sikap tersebut seperti sudah mendarah daging dengan jiwa kewartawanannya, bahkan saat duduk sebagai anggota parlemen pada 1956-1959 dari Partai Rakyat Indonesia (PRI). Bung Tomo saat itu sangat kritis terhadap kebijakan Bung Karno yang pernah menjulukinya sebagai “jenderal kancil” karena strategi perangnya di Surabaya itu.
Salah satu kritiknya adalah saat Soekarno membubarkan parlemen pada 24 Agustus 1960. Menurut Bung Tomo, pembubaran DPR itu mencederai demokrasi dan kedaulatan rakyat karena membubarkan hasil pemilu yang sah. Dia bahkan menggugat ke pengadilan, sayang gugatan itu ditolak.
Di era Orde Baru sikap kritisnya tidak surut. Dia bahkan masuk Penjara Nirbaya Pondok Gede selama setahun karena mengritik keras kebijakan Soeharto. Antara lain tudingan menjual kekayaan alam untuk asing. Kemarahan Soeharto semakin besar saat Bung Tomo mengeritik pembangunan Taman Mini Indonesia Indonesia Indah (TMII). Aparat saat itu menangkap dan memenjarakan Bung Tomo tanpa proses pengadilan.
Di masa itulah Bung Tomo, seperti cerita putranya Bambang Sulistomo mengaku menyesal telah mengobarkan semangat puluhan ribu pejuang di Surabaya. Para pejuang ini terjun sampai gugur di medan perang. Tetapi Orde Baru menutup mata. ”Beliau merasa berdosa.” begitu ungkap Bambang.
Akibat gesekan dengan penguasa Orde Baru yang semakin keras, Bung Tomo seperti tidak mendapat pengakuan di setiap peringatan Hari Pahlawan waktu itu. Bahkan setelah Bung Tomo wafat di Tanah Suci 7 Oktober 1981.
Jenazahnya dibawa pulang ke Indonesia. Tetapi bukan untuk di makamkan di taman makam pahlawan, melainkan hanya tempat pemakaman umum biasa di kawasan Ngagel Surabaya.
Barulah di era Reformasi, tepatnya pada Hari Pahlawan 10 November 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional. Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh, mengumumkan hal itu pada 2 November 2008 di Jakarta.