Dari Jayengsekar Menuju Polri, Peringatan 73 tahun Bhayangkara

Baca Juga

MINEWS, JAKARTA – Tanggal 1 Juli selalu menjadi hari yang bersejarah bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Setiap tahunnya, tanggal ini selalu menjadi momen peringatan bagi hari Bhayangkara. Selama ini banyak yang mengira tanggal tersebut menjadi hari lahir bagi Polri. Namun sebenarnya bukan itu intinya.

Tepatnya tanggal 1 Juli 1946, Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1946. Peraturan ini membuat kepolisian dari masing-masing daerah digabung menjadi satu-kesatuan nasional dan bertanggungjawab secara langsung pada presiden.

Jika ditilik ke belakang, julukan Bhayangkara sendiri diambil dari nama pasukan Majapahit yang berada di bawah komando Gajah Mada. Pasukan ini bertugas menjaga keamanan raja dan kerajaannya di masa itu. Meskipun demikian, ketangguhan dan kesetiaan pasukan ini hanya tinggal cerita pasca Majapahit runtuh.

Zaman Belanda, dari Jayengsekar Hingga Polisi Moral

Setelah zaman kerajaan berlalu, Indonesia sempat dijajah dalam kurun waktu yang lama oleh Belanda. Di masa itu, pasukan keamanan diambil dari warga pribumi dan ditugaskan menjaga asset dan kekayaan orang-orang Eropa di Hindia Belanda.

Pasukan keamanan ini terbagi atas beberapa bentuk di antaranya Veld Politie (Polisi Lapangan), Stands Politia (Polisi Kota), Cultur Politie (Polisi Pertanian) dan Bestuur Politie (Polisi Pamong Praja).

Namun, saat itu warga pribumi cuma menjadi bagian dari anggota keamanan dan tak bisa menempati posisi tinggi seperti Hood Agent (Bintara), Inspekteur van politie dan komisaris van Politie.Mereka Cuma diperkenankan menjadi mantra polisi, asisten wedana dan wedana polisi.

Misalkan era pemerintahan Herman Willem Daendels, Tegal adalah pemasok beras untuk kawasan timur nusantara. Untuk mengamankan wilayah ini, Daendels membentuk kesatuan berkuda yang diberi nama Jayengsekar. Dalam Kamus Sansekerta Indonesia, Jayengsekar berarti nama kesatuan prajurit kraton.

Personil Jayesengkar diambil dari kalangan anak-anak elit pribumi yang tak tertampung dalam birokrasi kolonial. Mereka mendapat pelatihan militer maupun seragam khusus dan berada di bawah perintah masing-masing kepala distrik (kabupaten).

Sementara di ibukota keresidenan (provinsi), mereka di bawah kendali pejabat kulit putih. Jumlah prajuritnya berkisar dari 50-100 orang, tergantung luas wilayahnya. Gaji mereka dibayar dengan petak sawah di tempat mereka bertugas.

Merujuk pada pasal 25 Ordonantie den 18 Augustus 1808, Djoko Marihandono mencatat bahwa sejumlah pasukan Jayengsekar di berbagai prefektur.

Untuk wilayah Tegal dibentuk 80 pasukan Jayengsekar dengan kekuatan 80 prajurit; Pekalongan 50 prajurit; Semarang 100 prajurit; Jepara 100 prajurit; Rembang 50 prajurit; Gresik 50 prajurit; Surabaya 80 prajurit; Pasuruan 100 prajurit; Sumenep 100 prajurit.

Selama tiga tahun memerintah Jawa, Daendels melaporkan kepada kaisar Prancis Napoleon Bonaparte bahwa dirinya telah merekrut sebanyak 13.838 pasukan Jayengsekar. Sepeninggalan dia, Jayengsekar masih bertahan hingga 1874.

Setelah Jayengsekar, muncullah polisi kolonial. Kesatuan ini dibentuk pada tahun 1897. Tugasnya menjaga keamanan dan ketertiban, tapi kemudian meluas ke urusan politik hingga moral.

Maka dibentuk pula unit khusus polisi susila untuk memberantas pelacuran, perdagangan perempuan dan homoseksualitas. Contohnya pada tahun 1930-an polisi menangkap orang-orang yang diduga homoseksual, tak peduli orang Eropa atau pejabat tinggi pemerintah yang melakukan hubungan seksual dengan anak lelaki di bawah umur (di bawah 21 tahun).

Lebih lucunya lagi, kasus homo ini juga terjadi dalam tubuh kepolisian. Alhasil 4 penjabat polisi jadi terdakwa dan ditahan. Saking luasnya peran polisi, Hindia Belanda disebut sebagai negara polisi.

Warga Pribumi Diberi Jabatan pada Masa Penjajahan Jepang

Saat Jepang menguasai Nusantara, kepolisian dibagi-bagi berdasarkan wilayah. Ada kepolisian Jawa dan Madura yang berpusat di Jakarta, Kepolisian Sumatera dengan pusat di Bukittinggi, Kepolisian Indonesia Timur berpusat di Makassar, dan Kepolisian Kalimantan yang pusatnya ada di Banjarmasin.

Berbeda dengan zaman Belanda yang hanya mengizinkan jabatan tinggi diisi oleh orang-orang mereka, saat di bawah Jepang, kepolisian dipimpin oleh warga Indonesia. Akan tetapi, meski menjadi pemimpin, orang pribumi masih didampingi pejabat Jepang yang pada praktiknya lebih memegang kuasa.

Masa Awal Kemerdekaan, dari PRI Menuju Polri

Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, polisi bentukan Jepang seperti PETA dan Gyu-Gun dibubarkan. 4 hari setelah Indonesia merdeka, para mantan kesatuan polisi bentukan Jepang mengambil sikap untuk siap berjuang mempertahankan kemerdekaan dan menamakan diri Polisi Republik Indonesia (PRI).

Selanjutnya, pada 29 September 1945, Presiden Soekarno menetapkan dan melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN). Kala itu, kepolisian masih ada di bawah Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara untuk urusan administrasi. Akan tetapi pertanggungjawaban operasional dilakukan kepada Jaksa Agung.

Setelah itu, PRI mulai terlibat dalam sejumlah pertempuran. Seperti menyerang dan merampas senjata-senjata Jepang hingga menghadapi pasukan Inggris dan Belanda di Tanjung Perak. Mereka juga terlibat dalam insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato, sekaligus mendukung dan mempelopori pertempuran Surabaya.

Namun, sejak terbitnya Perpres Nomor 11 Tahun 1946, kepolisian negara bertanggung jawab secara langsung kepada presiden. Sejak hingga hari ini, Polri telah merayakan Hari Bhayangkara yang ke-73.

(Krisantus de Rosari Binsasi)

Berita Terbaru

Memperkokoh Kerukunan Menyambut Momentum Nataru 2024/2025

Jakarta - Menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024/2025, berbagai elemen masyarakat diimbau untuk memperkuat kerukunan dan menjaga...
- Advertisement -

Baca berita yang ini