Cicero Mengajarkan Pembunuhnya Bagaimana Cara Memenggal Kepalanya

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Tak ada yang menandingi kehebatan berpidato Marcus Tullius Cicero, filsuf dan negarawan Romawi.

Ia terkenal karena orator ulung. Ia juga negarawan, filsuf, ahli politik, ahli hukum, dan konsul. Karyanya banyak dipelajari dan dipuji sampai cendekiawan di abad ke-19 mengungkapkan bahwa karya Cicero merupakan curian dari filsuf dan ahli retorika Yunani.

Orang harus membaca Cicero dengan skeptis karena dia adalah seorang politisi ambisius. Karya tulisannya banyak diabdikan untuk mencapai tujuan politiknya. Keterampilan menulis dan filosofi yang dimilikinya merupakan sarana untuk mencapai tujuan politik di Kekaisaran Romawi.

Awal Karier

Cicero lahir pada 3 Januari 106 SM. Ia berasal dari keluarga kaya. Namun dia bukan berasal dari kelas cukup tinggi untuk masuk dalam lingkaran elit politik Romawi.

Cicero adalah seorang introvert, pemikir dan intelektual yang sepanjang hidupnya tak pernah berhenti “beraksi”.

Ia memulai karier sebagai pengacara. Dan ia mengasah bakat orasinya dari sana. Ia sering memulai pidatonya dalam keadaan gugup. Bahkan saat ia harus berhadapan dengan banyak orang. Namun praktik yang ia lakukan sepanjang karirnya yang sangat panjang membuatnya mampu mengatasi tekanan mental. Cicero akhirnya terkenal karena cara pidatonya yang mampu memukau masyarakat Romawi saat itu,

Ia pun belajar dan berpraktik hukum sebagai cara untuk mencapai kekuasaan di Roma. Sejak terpilih di beberapa kantor peradilan, Cicero akhirnya terpilih untuk masuk menjadi senat Romawi.

Tidak seperti senat di Yunani Kuno, senat Romawi berfungsi dalam kapasitas sebagai penasihat. Roma bukanlah negara demokrasi, melainkan lebih dekat ke oligarki. Hanya sebagian kecil elit yang memegang kekuasaan politik.

Ia pernah menjabat sebagai Gubernur Cilicia (51 SM). Ia harus memimpin pertempuran untuk menumpas invasi dari kerajaan Partia. Meskipun keberhasilannya, tampaknya, lebih banyak ditentukan karena keahliannya mengelola organisasi. Cicero juga cerdas saat menempatkan para ahli perang termasuk adik kandungnya sendiri, Quintus Cicero.

Kemampuannya berorasi dan mempersuasi publik adalah modal terbesarnya dalam menapaki karir politiknya. Ia sempat terpilih sebagai Konsul, bersama-sama dengan Gaius Antonius Hybrida pada tahun 63 SM.

Di dalam masyarakat yang belum memiliki media sebagai ‘medium’ untuk menyebarluaskan informasi, mereka yang memiliki kemampuan berorasi dengan baik berada dalam posisi yang diuntungkan untuk memengaruhi dan membentuk opini publik.

Itu sebabnya, Julius Caesar, meskipun berbeda aspirasi politik dengan kaum Republikan, tak pernah mau kehilangan Cicero.

Sebelum pecah perang saudara, Caesar meminjamkan uang pada Cicero dalam jumlah yang besar. Dan setelah itu pun, terutama setelah kematian Pompey, ia masih mau mengampuni Cicero.

Sebagai Konsul, Cicero mencatatkan prestasi politik yang cukup gemilang untuk mempertahankan Republik dengan menumpas konspirasi Catilina. Tokoh ini sebelumnya kalah dari Cicero dalam pemilihan Konsul. Ketika itu Catilina hendak melakukan kudeta dengan mengandalkan bala tentara dari luar kota Roma.

Kendati tak menjabat sebagai Konsul, peran politik Cicero tetap signifikan sebelum dan sesudah terjadinya perang saudara.

Menjelang terbentuknya Triumvirate Pertama (60-53 SM), yaitu aliansi politik sementara para jenderal, yang terdiri dari Julius Caesar, Pompey dan Crassus.

Untuk meredakan ketegangan politik antara Julius Caesar dan Pompey, yang sama-sama berpeluang menjadi penguasa tertinggi Roma. Cicero menolak terlibat meskipun Caesar terus-menerus mendekatinya. Cicero, dengan sengaja memainkan peran sebagai penyeimbang.

Ketika pada akhirnya Triumvirate Pertama bubar, karena kematian Crassus pada tahun 53 SM, Pompey dan Caesar akhirnya saling berhadap-hadapan.

Seperti diketahui, pendukung Republik, termasuk Cicero, memilih berada di kubu Pompey yang akhirnya kalah. Sebagai pihak yang kalah, Cicero tak lagi punya peran politik di Roma.

Namun situasi itu tak berlangsung lama. sebab para elit politik Roma yang tak menghendaki adanya kekuasaan absolut di tangan satu orang. Dipimpin oleh Marcus Junius Brutus, mereka menggalang konspirasi yang berakhir dengan pembunuhan terhadap Julius Caesar.

Pasca kematian Caesar, Cicero kembali memainkan peranan politik yang sentral. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha menghalangi bersatunya, dan kembalinya para pendukung Caesar, khususnya Mark Anthony.

Cicero sengaja menjadi mentor bagi Oktavianus, pemuda berusia 19 tahun, yang menjadi pewaris Caesar. Dan meyakinkan para politisi di Roma bahwa sang pemuda takkan mengulangi kesalahan ayah angkatnya, Julius Caesar. Semua itu ia lakukan dalam rangka perimbangan kekuatan. Mencegah munculnya figur yang terlalu kuat, yang dengan mudah tergiur untuk menjadi diktator – sambil berharap pilar-pilar Republik dapat muncul kembali.

Sayangnya, terjadilah aliansi antara para simpatisan Julius Caesar yang membentuk Triumvirate Kedua – antara Oktavianus, Lepidus dan Mark Anthony. Meskipun, pada akhirnya bubar dan kembali terjadi perang di antara mereka sendiri. Ketiga jenderal ini berkepentingan membentuk aliansi tak lama setelah kematian Caesar untuk menumpas para konspirator, serta para musuh.

Cicero, meskipun Oktavianus membelanya habis-habisan, tetap masuk dalam daftar yang harus di enyahkan.

Walaupun mendapatkan banyak simpati publik – kebanyakan orang menolak untuk memberitahu dan melaporkan keberadaannya – namun, para pendukung Caesar, dengan bersemangat mencari dan memburu Cicero.

Ia tertangkap pada 7 Desember 43 SM. Saat ia hendak meninggalkan vilanya di Formiae di tepi laut. Ia dengan enggan hendak naik kapal menuju Makedonia. Pada saat para pembunuhnya tiba – Herennius (seorang perwira) dan Popilius (anggota Tribun) – para budak Cicero mengatakan bahwa mereka tak melihatnya. Tapi Philologus, seorang mantan budak memberitahu keberadaannya.

Ketika akhirnya berhadapan dengan para eksekutor, ia pun menyambut mereka, “Saya berhenti di sini. Kemarilah, prajurit. Tidak ada yang pantas yang akan kalian lakukan. Tapi setidaknya pastikan kalian memenggal kepalaku dengan benar.”

Herennius gemetar dan terlihat ragu. Cicero malah melanjutkan kata-katanya, “Bagaimana jika kalian mendekati saya lebih dulu?”

Ia meregangkan lehernya sejauh yang ia bisa. Herennius pun melakukan tugasnya. Cicero pun mati dengan kepala terputus.

Kematian Cicero dapat membuat padam “Api Republik” di Romawi. Ia adalah pembelanya yang paling gigih. Era setelahnya, Oktavianus tak terhentikan. Ia memulai masa kekaisaran Roma, juga dengan jatuh-bangunnya, yang sangat panjang.

Reporter : Ade Amalia Choerunisa

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Tindakan OPM Semakin Keji, Negara Tegaskan Tidak Akan Kalah Lawan Pemberontak

Organisasi Papua Merdeka (OPM) banyak melancarkan aksi kekejaman yang semakin keji. Maka dari itu, negara harus tegas untuk tidak...
- Advertisement -

Baca berita yang ini