MATA INDONESIA, BERLIN – Terletak sembilan puluh kilometer utara dari Kota Berlin, Jerman, sebuah kamp konsentrasi Nazi dibuka pada tahun 1939, yang dikenal sebagai Ravensbrück. Kamp konsentrasi ini dibuat khusus untuk perempuan dan anak-anak, dengan sekitar 132.000 tahanan dari seluruh Eropa di penjara disana.
Ravensbrück merupakan fasilitas pelatihan utama bagi ribuan penjaga Nazi perempuan, yang dikenal sebagai Aufseherinnen. Para perempuan ini dilatih dalam bidang seni kekerasan, termasuk seni pelecehan secara psikologis, hingga menghajar dan mencambuk. Di antara mereka adalah remaja putri yang berasal dari keluarga miskin, yang terpaksa meninggalkan sekolah lebih awal dan tidak memiliki banyak pilihan karier.
“Mereka orang-orang yang mengerikan,” kata Selma van de Perre, seorang pejuang perlawanan Yahudi Belanda yang pernah ditahan di Ravensbrück sebagai tahanan politik kepada BBC. “Mereka suka bekerja di sana mungkin karena itu membuat mereka merasa kuat. Itu memberi mereka banyak kekuasaan atas para tahanan. Beberapa tahanan diperlakukan dengan sangat buruk. Dipukuli.”
Kebanyakan dari para Aufseherinnen telah didoktrin sejak awal di kelompok pemuda Nazi dan percaya pada ideologi Adolf Hitler. Mereka menganggap telah mendukung masyarakat dengan melakukan sesuatu terhadap musuh-musuh Nazi, sehingga menormalisasikan perlakukan mereka yang brutal pada para tahanan.
Ravensbrück pada awalnya merupakan kamp konsentrasi khusus untuk para tahanan politik sebelum kemudian berubah menjadi kamp maut Nazi yang paling mengerikan.
Ketika Ravensbrück pertama kali dibuka, kondisinya cenderung lebih ramah dibanding kamp-kamp konsentrasi lain. Saat itu, Ravensbrück masih berukuran kecil dan mayoritas dihuni oleh wanita-wanita Jerman yang dianggap tidak bermoral ataupun para tahanan politik. Kebanyakan wanita di Ravensbrück adalah kaum Yahudi, yang dikirim ke sana bukan karena masalah agama tapi pandangan politik mereka yang berseberangan dengan Hitler.
Suasana ramah pada tahanan berubah seiring Perang Dunia II yang semakin meluas. Selain kaum Yahudi, ratusan ribu tahanan perempuan yang dipenjara meliputi anggota pasukan pemberontak, komunis, cendekiawan, anggota komunitas Romani, lesbian, pekerja seks, dan masih banyak lagi. Beberapa perempuan datang dengan anak-anaknya, dan lainnya melahirkan di dalam kamp. Para tahanan datang dari berbagai negara Eropa jajahan Jerman saat itu, dengan penyumbang terbesar berasal dari Polandia.
Kondisi kamp semakin memburuk menjelang kejatuhan Hitler. Ravensbrück mulai penuh sesak dan banyak tahanan terjangkit penyakit. Untuk bisa memenuhi kebutuhan perang Jerman, tahanan dipaksa bekerja lebih keras dan lebih lama dalam kondisi mengenaskan. Dilaporkan bahwa puluhan tahanan perempuan Polandia mengalami siksaan eksperimen medis yang tidak manusiawi di tangan para dokter kamp.
Kondisi kamp memang tidak kondusif bagi semua perempuan, namun berdasarkan penelitian, perempuan Yahudi yang mengalami situasi terburuk. Mereka diperlakukan lebih kasar dan kondisi hidup mereka lebih parah. Bahkan, tidak ada ampun bagi perempuan Yahudi yang menjadi tahanan politik, mereka pasti langsung dibunuh.
Dengan berjejalnya kamp konsentrasi tersebut, pada kurun waktu antara 1942 dan 1943, tahanan Yahudi dipindahkan dari Ravensbrück. Kebanyakan dikirim ke Auschwitz serta ke kamar gas dekat Kota Bernberg untuk dieksekusi. Tragisnya, eksekusi kaum Yahudi itu dilakukan sebagai solusi logistik untuk mengatasi kepadatan hunian.
Setidaknya 90 ribu tahanan perempuan diketahui meninggal di Ravensbrück. Sebagian di antara mereka meninggal di kamar gas dan digantung, sedangkan lainnya meninggal karena kelaparan, penyakit yang diderita, dan kerja paksa.
Sementara itu, dari ribuan perempuan yang bekerja sebagai penjaga Nazi, hanya 77 orang yang diadili, dan hanya segelintir dari mereka yang mendapat hukuman. Kebanyakan dari mereka yang bebas tidak pernah membicarakan masa lalu. Mereka menikah, mengubah nama mereka, kemudian menghilang dari publik.
Reporter: Safira Ginanisa