MATA INDONESIA, JAKARTA – Pada tahun 1800an, Pemerintah Kolonial Belanda mengirim banyak tenaga kesehatan untuk menjadi dokter tentara di Indonesia, tepatnya di Batavia. Salah satunya adalah Christiaan Eijkman.
Di Batavia, Eijkman sering menemukan penyakit beri-beri yang tengah menjadi endemik pada masa itu. Memang belum beri-beri namanya. Penyakit ini dikenal menyebabkan rasa lemas, tidak bisa tidur, kehilangan nafsu makan, dan tidak nyaman pada perut. Kemudian penyakit akan berlanjut menimbulkan sensasi panas pada tangan, kesemutan, hingga menjadi mati rasa.
Beberapa tahun sebelumnya Eijkman sebenarnya sudah pernah ke Jawa. Tahun 1883-1885 sebagai dokter muda dia pernah bertugas di Semarang dan Cilacap. Malang, Eijkman yang lahir pada bulan Agustus tanggal 11 tahun 1858 ini terkena Malaria. Terpaksa dia balik ke Belanda untuk pemulihan. Tetapi, di sisi lain saat dia kembali ke Belanda dia bisa bertemu AC Pekelharing dan C Winkler di laboratorium Robert Koch di Berlin. Di sana dia belajar kembali berbagai metode untuk mengisolasi mikroorganisme penyebab penyakit.
Misinya yang kedua ke Jawa terjadi pada tahun 1887 saat dia mewakili reputasi Pekelharing-WInkler untuk menyelidiki penyakit beri-beri. Eijkman kemudian ditunjuk sebagai direktur laboratorium rumah sakit militer Batavia. Pada saat yang sama dia juga menjadi direktur Sekolah Kedokteran Jawa atau STOVIA yang saat ini merupakan kampus Kedokteran Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta.
Saat itu, banyak orang di Pulau Jawa yang terserang penyakit tersebut. Eijkman saat itu terpengaruh dengan penemuan bakteri Tuberkulosis oleh Robert Koch. Dalam teorinya, Koch mengemukakan bahwa setiap penyakit pasti ada mikroorganisme yang menjadi kausanya. Eijkman berusaha mencari kuman penyebab beri-beri.
Penemuan tak Sengaja
Eijkman bekerja di sebuah laboratorium di samping rumah sakit untuk menemukan kuman dari tentara yang meninggal akibat beri-beri. Berkali-kali ia mencoba menginfeksi kelinci dan kera, namun hasilnya nihil: hewan coba tersebut tidak terjangkit beri-beri. Karena memakan biaya yang cukup besar tanpa hasil yang memuaskan, Eijkman kemudian mengganti penelitiannya pada ayam.
Ia menaruh masing-masing ayam di kandang yang berbeda. Tak disangka, beberapa bulan kemudian, ayam peliharannya sakit. Ia beranggapan, seluruh laboratorium telah terjangkit kuman beri-beri. Lalu ia memindahkan ayam-ayam ke lokasi lain. Hasilnya? Ayam-ayam tersebut menjadi sembuh! Eijkman semakin heran, ia tidak melakukan apapun terhadap ayam-ayam itu.
Secercah harapan pun mulai muncul. Orang yang memberi makan ayam-ayam tersebut bercerita bahwa ia memberikan beras putih sewaktu ayam-ayam itu sakit. Beras itu diperolehnya dari sisa-sisa rumah sakit.
Belakangan, rumah sakit tidak memberikan beras sisa lagi. Eijkman pun menyadari, ada sesuatu dari beras itu yang membuat ayam-ayam peliharaannya pulih kembali.
Eijkman melakukan eksperimen untuk membandingkan ayam yang diberi beras putih (yang telah dikupas kulit luarnya) dan beras coklat (dengan kulitnya). Hasilnya, ayam yang memakan beras putih ke depannya mati. Kesimpulan tersebut kemudian terbit dalam bentuk jurnal di Belanda yang intinya “beras putih dapat mematikan!”. Kasus terpecahkan. Ternyata penyebabnya hanya soal diet makanan ayam.
Menemukan Vitamin B1
Penelitian lanjutan memperlihatkan bahwa beras putih atau beras yang gilingannya sampai putih ternyata kesukaan orang Jawa. Padahal, nutrisinya rendah. Sementara beras gilingan biasa yang berwarna kecoklatan ternyata lebih bernutrisi atau bergizi tinggi. Dari lapisan kecoklatan yang ada di beras biasa inilah terdapat zat gizi yang kemudian diberi nama vitamin B1. Dari hasil penemuan inilah pada tahun 1929, Eijkman bersama dengan Hopkins mendapat hadiah Nobel Kesehatan.
Sayang sekali eksperimen Eijkman harus terhenti pada 1896. Ia terpaksa harus pulang ke Belanda, lagi-lagi, karena sakit. Tapi Eijkman tidak menghentikan begitu saja risetnya. Pada 1898—saat ia telah menjadi profesor di Universitas Utrecht—ia menerbitkan sebuah artikel tentang beri-beri di Hindia Belanda.
Eijkman berteori bahwa penyakit beri-beri yang sebenarnya adalah defisiensi menu diet. Sejak itu misteri beri-beri terpecahkan dan obatnya dengan membiasakan diet gizi seimbang. Hasil riset Eijkman ini juga mendorong riset-riset baru untuk mengidentifikasi “zat penawar” yang terkandung dalam kulit ari beras. Di kemudian hari, setelah melalui serangkaian penelitian oleh beberapa ilmuwan lain, zat itu adalah vitamin. “Penemuan ini telah mengarah pada konsep vitamin. Prestasi penting ini membuatnya mendapatkan Hadiah Nobel dalam bidang Fisiologi atau Kedokteran untuk tahun 1929,” tulis Komite Kusala Nobel.
Eijkman yang lahir pada 11 Agustus 1858 di Nijkerk, Belanda dan meninggal pada 5 November 1930 di Utrecht, Belanda. Namanya hingga sekarang terkenal di dunia kedokteran. Tak hanya itu Pemerintah Indonesia membentuk Lembaga Biologi Molekuler dengan nama Eijkman. Lembaga ini bergerak di bidang biologi molekuler dan bioteknologi kedokteran. Lembaga ini bernaung di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi.
Reporter: Irania Zuraya