Berbekal Lentera, Florence Nightingale Mengambil Mayat Korban Perang

Baca Juga

MATA INDONESIA, LONDON – Angin malam yang dingin tak menyurutkan langkah  Florence Nightingale memeriksa tubuh-tubuh yang begelimpangan akibat perang Krimea antara Rusia dan Inggris-Prancis-Turki. Ditemani beberapa prajurit Inggris, Florence membawa siapa saja yang masih hidup dan masih bisa diselamatkan, termasuk prajurit Rusia.

Florence Nightingale tak kenal takut. Padahal ia satu-satunya wanita. Bersama prajurit Inggris, mereka kembali dengan membawa lima belas prajurit, dua belas prajurit Inggris dan tiga prajurit Rusia.

Semenjak itu setiap terjadi pertempuran, pada malam harinya Florence berkeliling dengan lampu untuk mencari prajurit-prajurit yang masih hidup dan mulailah ia terkenal sebagai The Lady with The Lamp atau bidadari berlampu yang menolong di gelap gulita.

Keluarga Kaya

Lahir dari keluarga kaya, Florence Nightingale justru memilih jalan menjadi seorang perawat. Ditentang oleh keluarganya, Florence tak peduli. Padahal profesi perawat saat itu adalah pekerjaan hina. Rumah sakit pun saat itu adalah tempat yang jorok. Banyak orang memanggil dokter untuk datang ke rumah dan dirawat di rumah.

Florence Nightingale bersikeras dan tetap pergi ke Kaiserswerth, Jerman untuk mendapatkan pelatihan bersama biarawati di sana. Nightingale belajar selama empat bulan di bawah tekanan dari keluarganya yang takut akan implikasi sosial. Selain di Jerman,  Nightingale juga pernah bekerja di rumah sakit untuk orang miskin di Prancis.

Menentang Diskriminasi

Pada 12 Agustus 1853 Nightingale kembali ke London dan mendapat pekerjaan sebagai pengawas bagian keperawatan di Institute for the Care of Sick Gentlewomen, sebuah rumah sakit kecil yang terletak di Upper Harley Street, London, posisi yang ia tekuni hingga bulan Oktober 1854.

Di sini ia beragumentasi sengit dengan Komite Rumah Sakit yang mendiskriminasi pasien, Pihak Rumah Sakit menolak pasien yang beragama Katolik. Nightingale mengancam akan mengundurkan diri, kecuali bila komite ini mengubah peraturan tersebut dan memberinya izin tertulis.

Menurut Florence Nightingale, rumah sakit harus menerima tidak saja pasien yang beragama Katolik, tetapi juga Islam, Yahudi dan agama lainnya, serta memperbolehkan mereka menerima kunjungan dari pendeta-pendeta mereka, termasuk rabi, dan ulama untuk orang Islam. Akhirnya desakan itu membuahkan hasil. Komite rumah sakit pun mengubah peraturan tersebut sesuai permintaan Nightingale.

Pada 1854 berkobarlah peperangan di Semenanjung Krimea. Tentara Inggris bersama tentara Prancis berhadapan dengan tentara Rusia. Banyak prajurit yang gugur dalam pertempuran, namun yang lebih menyedihkan lagi adalah tidak adanya perawatan untuk para prajurit yang sakit dan luka-luka.

Florence Nightingale merawat pasien korban Perang
Florence Nightingale merawat pasien korban Perang

Keadaan memuncak ketika seorang wartawan bernama William Russel pergi ke Krimea. Dalam tulisannya untuk harian Time, ia menuliskan bagaimana prajurit-prajurit yang luka bergelimpangan di tanah tanpa diberi perawatan sama sekali dan bertanya, “Apakah Inggris tidak memiliki wanita yang mau mengabdikan dirinya dalam melakukan pekerjaan kemanusiaan yang mulia ini?”

Hati rakyat Inggris pun tergugah oleh tulisan tersebut. Nightingale merasa masanya telah tiba. Ia pun menulis surat kepada menteri penerangan saat itu, Sidney Herbert, untuk menjadi sukarelawan.

Satu-satunya Wanita

Nightingale adalah satu-satunya wanita yang mendaftarkan diri. Di Krimea prajurit-prajurit banyak yang mati bukan karena peluru dan bom, namun karena tidak adanya perawatan, dan perawat pria jumlahnya tidak memadai. Ia meminta Florence Nightingale untuk memimpin gadis-gadis sukarelawan. Pada 21 Oktober 1854 bersama 38 gadis sukarelawan yang dilatih oleh Nightingale berangkat ke Turki menumpang sebuah kapal.

Pada November 1854 mereka mendarat di sebuah rumah sakit pinggir pantai di Scutari. Saat tiba di sana kenyataan yang mereka hadapi lebih mengerikan dari apa yang mereka bayangkan.

Beberapa gadis sukarelawan terguncang jiwanya dan tidak dapat langsung bekerja karena cemas, semua ruangan penuh sesak dengan prajurit-prajurit yang terluka, dan beratus-ratus prajurit bergelimpangan di halaman luar tanpa tempat berteduh dan tanpa ada yang merawat.

Nightingale melakukan perubahan-perubahan penting. Ia mengatur tempat-tempat tidur para penderita di dalam rumah sakit, dan menyusun tempat para penderita yang bergelimpangan di luar rumah sakit. Ia mengusahakan agar penderita yang berada di luar paling tidak bernaung di bawah pohon dan menugaskan pendirian tenda.

Dalam waktu sebulan rumah sakit sudah berubah, walaupun baunya belum hilang seluruhnya, namun jerit dan rintihan prajurit yang luka sudah jauh berkurang. Para perawat sukarelawan bekerja tanpa kenal lelah hilir-mudik di bawah pengawasan Nightingale.

Ia juga menangani perawat-perawat lain dengan “tangan besi”, bahkan mengunci mereka dari luar pada malam hari. 

Pulang ke Inggris

Nightingale kembali ke Inggris sebagai pahlawan pada tanggal 7 Agustus 1857. Semua orang tahu siapa Nightingale dan apa yang ia lakukan ketika berada di medan pertempuran Krimea. Menurut BBC, ia merupakan salah satu tokoh paling terkenal setelah Ratu Victoria.

Nightingale mendapat sebuah undangan dari Ratu Victoria. Ia menjadi peran utama dalam pendirian Komisi Kerajaan untuk Kesehatan Tentara Inggris. 

Untuk menghargai jasa-jasa Nightingale, tokoh-tokoh masyarakat mendirikan sebuah badan bernama “Dana Nightingale”. Badan tersebut berhasil mengumpulkan dana sejumlah 45.000 poundsterling sebagai rasa terima kasih orang-orang Inggris karena Nightingale berhasil menyelamatkan banyak jiwa dari kematian.

"<yoastmark

Nightingale menggunakan uang itu untuk membangun sekolah perawat khusus untuk wanita yang pertama. Sekolah tersebut berada di lingkungan rumah sakit St. Thomas Hospital, London.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Resmi Jadi Kader NasDem, Sutrisna Wibawa bakal Bersaing Ketat dengan Bupati Gunungkidul

Mata Indonesia, Yogyakarta - Mantan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sutrisna Wibawa, telah resmi bergabung sebagai kader Partai Nasional Demokrat (NasDem). Hal ini jelas memperkuat dinamika politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gunungkidul 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini